Jakarta (ANTARA News) - Ekonom dari Lembaga Pengembangan Ekonomi dan Manajemen Universitas Indonesia (LPEM UI), Chatib Basri, mengatakan bahwa saat ini ada sekira 30 persen aktivitas ekonomi yang tidak tercatat oleh pemerintah, sehingga diperkirakan ekonomi Indonesia saat ini sebenarnya telah tumbuh hingga 6,5 persen. Dalam sebuah seminar tentang proyeksi ekonomi tengah tahun 2007 di Jakarta, Kamis, Chatib mengungkapkan, perkiraan itu berasal dari hitungan kasar bahwa pertumbuhan ekonomi yang lebih buruk setelah krisis, ternyata membutuhkan pertumbuhan konsumsi listrik yang sama dengan pertumbuhan ekonomi sebelum krisis. "Kalau mau melihat aktivitas ekonomi yang jalan, bisa dilihat dari indikator-indikator yang dipakai dalam proses produksi. Kalau konstruksi, kita bisa lihat dari semennya. Kalau aktivitas ekonomi paling besar itu adalah listrik," katanya. Menurut dia, sebelum krisis 1997 pertumbuhan ekonomi mencapai 7,0 persen dan pertumbuhan konsumsi listrik mencapai 14 persen, atau setiap satu persen pertumbuhan ekonomi membutuhkan dua persen pertumbuhan konsumsi listrik. "Tapi, yang menarik, setelah krisis ekonomi pertumbuhan ekonomi kita 3 hingga 4 persen, konsumsi listrik tetap 12 persen, padahal seharusnya 8 persen," ujarnya. Ia mengemukakan, hal itu lantaran adanya aktivitas ekonomi yang tidak dilaporkan kepada pemerintah atau "hidden economy" akibat ketakutan perlakuan yang tidak nyaman dari aparatur pemerintahan. "Artinya, mungkin dengan situasi ekonomi yg riil itu jauh lebih tinggi dari yang terekam. Ini yang menjelaskan orang banyak mengeluh tentang ekonomi, tapi bisa beli motor," katanya. Dia mencontohkan, kekhawatiran orang dalam melaporkan kewajiban pajak dengan sebenarnya malah akan membuatnya harus menegosiasikan banyak hal. "Dugaan saya paling banyak terjadi di sektor yang banyak regulasi. Semakin banyak regulasi, semakin besar insentif bagi orang untuk menghindari institusi itu, kecuali kalau institusinya baik. Dugaan saya misalkan pada sektor manufaktur dan pertambangan," katanya. Dikatakannya, hal itu tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di negara-negara yang tengah mengalami transisi kelembagaan, seperti di Eropa Timur. Oleh karena itu, tambahnya, pihaknya mengusulkan agar dilakukan perbaikan terutama pada sisi regulasi dan birokrasi agar persentase itu bisa berkurang ke depannya. (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2007