Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Perindustrian memahami bahwa masih banyak anggapan tentang harga batik yang dijual di Indonesia terbilang mahal, terutama bagi turis mancanegara.

Dirjen Industri Kecil Menengah (IKM) Kementerian Perindustrian Gati Wibawaningsih menyampaikan bahwa edukasi tentang pembuatan batik memang diperlukan.

“Orang asing itu selalu question mark, batik kenapa mahal. Kita harus promosikan bagaimana cara membatik, apa yang membuat dia jadi mahal,” kata Gati di Jakarta, Selasa.

Gati menyebut, tingkat kesulitan dalam membatik menjadi salah satu penyebab nilai dari selembar kain batik bisa mencapai Rp50 juta.

“Batik tulis itu coraknya, motifnya, itu tidak pernah sama. Selalu berbeda. Coba saja kita menulis huruf a dua kali. Tulisan pertama dan kedua pasti berbeda. Nah, begitu pula batik tulis,” papar Gati.

Kendati demikian, terdapat jenis batik lain yang harganya lebih terjangkau, di antaranya batik cap dan printing.

Baca juga: Indonesia kuasai pasar batik dunia

Menurut Gati, setiap jenis batik memiliki pasarnya masing-masing, untuk itu dibutuhkan kejujuran dari pembatik maupun penjual dalam menjajakan dagangannya.

“Maksudnya, kalau printing ya sampaikan itu printing, tidak usah takut. Nanti kita kasih pasar khusus. Masing-masing itu ada pasarnya, yaitu orang-orang yang hanya mampu beli batik semeter atau satu kain Rp100.000-Rp200.000. Jadi kalau kita sendiri tidak jujur, itu susah,” ungkap Gati.

Hingga saat ini, batik printing yang notabene harganya paling murah memang yang paling banyak diminati.

Gati menambahkan, Kemenperin akan menyediakan anjungan khusus edukasi membatik pada Gelar Batik Nusantara mendatang.

Menurut Gati, Indonesia masih merajai pasar batik di dunia, mengingat batik sudah ditetapkan sebagai warisan tak benda milik Indonesia oleh UNESCO.

“Malaysia pernah coba-coba bikin batik, tapi mereka melukis, berbeda sekali dengan membatik,” pungkasnya.

Baca juga: Pameran Pesona Batik Madura dibuka

Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Monalisa
COPYRIGHT © ANTARA 2018