Mataram (ANTARA News) - Pengamat hukum dan politik Universitas Mataram (Unram), H. Satriawan Sahak, SH. M.Hum, menilai putusan Mahkamah Konstitusi atas permohonan pencabutan sejumlah ayat pada pasal 56, 59 dan pasal 60 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan kemenangan demokrasi rakyat. "Suara rakyat sebagai suara Tuhan yang selama ini hanya dijadikan alat politik para elit politik di negeri ini harus dikembalikan kepada rakyat, dan hal itu telah diwujudkan melalui putusan MK yang diketuai Jimly Asshiddiqie," katanya kepada wartawan di Mataram, Rabu. Dikatakannya selama ini masyarakat sudah sadar sehingga mereka tidak ingin lagi hanya dijadikan "keset kaki", khususnya menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) ataupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Di kala menjelang Pemilu ataupun Pemilihan Umum kepala daerah, pimpinan partai sibuk menjadikan masyarakat menjadi rakyat, karena membutuhkan suara. Tetapi pasca Pemilu ataupun Pemilu kepala daerah, masyarakat kembali menjadi penduduk, karena penduduk itu hanya memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), kondisi itu menjadikan masyarakat mulai sadar. Menurut dia, praktek "money politic" atau politik uang yang diterapkan para pimpinan partai telah menjadikan rakyat itu kapitalis, dengan semboyan "ada uang ada dukungan dan tidak ada uang tidak ada dukungan". "Kondisi demikian itu sangatlah memprihatinkan kehidupan demokrasi di Indonesia, masyarakatpun kian pintar, sehingga tidak kalah gesitnya untuk bagaimana mendapatkan uang dari setiap pesta demokrasi dilaksanakan," katanya. Menurut dia, putusan MK dengan membolehkan calon independen mengikuti Pemilu karena partai tidak lagi satu-satunya "pintu gerbang" merupakan sebuah klimaks dari kekuasaan partai. Partai yang selama ini menjadi perwakilan rakyat dalam mewujudkan aspirasinya tidak dapat mengemban "amanah" dengan baik dan cenderung disalahgunakan untuk kepentingan pribadi, kelompok ataupun partai itu sendiri. Kekuasaan rakyat yang selama ini disalahgunakan oleh para elit partai politik telah ditarik kembali dan partai tidak perlu merasa kebakaran jenggot. Justru putusan MK tersebut harus disikapi partai sebagai satu peringatan ke depan agar lebih berhati-hati dan sungguh-sungguh mengemban amanah rakyat. "Kalau partai tidak merubah sikap dan selalu menerapkan pola-pola lama, maka dapat dipastikan partai itu akan ditinggalkan rakyat dan partai-partai tidak lama lagi akan bubar dengan sendirinya," katanya. Menjawab pertanyaan, Satriawan tidak membantah kemungkinan perubahan sistem politik di tanah air ke arah demokrasi di negara-negara Barat. Multi partai yang sekarang terjadi dapat mengerucut menjadi hanya dua partai saja, seperti yang terjadi di AS, yakni partai berkuasa dan oposan. Partai-partai yang sekarang muncul bagaikan jamur dimusim hujan secara perlahan tetapi pasti akan mengkristal menjadi hanya dua atau tiga partai saja, sehingga partai tidak dijadikan lapangan kerja. Mengenai kemungkinan terjadinya "rongrongan" partai-partai bagi gubernur terpilih dari calon independen dalam pelaksanaan tugas, Satriawan menyatakan justru besar kemungkinan hal itu terjadi. Tetapi para anggota dewan dari partai-partai politik yang di dewan harus lebih berhati-hati, karena mereka akan berhadapan dengan rakyat, kalau sampai rakyat mengetahui bahwa dewan menghambat kinerja pemerintahan dikarenakan balas dendam atau sakit hati, maka dewan akan menghadapi rakyat. "Bisa jadi, dalam pemilihan legislatif mendatang wakil-wakil rakyat dari masing-masing partai itu akan tersingkirkan, dewan harus lebih berpihak kepada kepentingan rakyat," katanya. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2007