Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah meminta masukan ahli dan praktisi hukum dari sejumlah universitas mengenai pasal pidana korupsi dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Menurut Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Kamis, selama April-Mei KPK menghadiri beberapa diskusi publik mengenai RKUHP di beberapa universitas, termasuk Universitas Bosowa di Makassar pada 16 April, Universitas Andalas di Padang pada 25 April, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada 3 Mei, Universitas Airlangga Surabaya pada 3 Mei.

Hasil diskusi-diskusi tersebut, ia menjelaskan, "Pertama, kodifikasi kehilangan tujuannya untuk mensistematisasi dan memudahkan masyarakat membaca aturan tersebut karena ternyata sebagian pasal-pasal korupsi, HAM, narkotika dan terorisme tetap masih ada di luar KUHP dengan pengaturan masing-masing.

Kedua, ia melanjutkan, sanksi pidana untuk koruptor justru lebih rendah dalam RUU KUHP dibanding Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi saat ini.

"Ketiga, tidak ada satu pasal pun yang menegaskan KPK masih berwenang sebagai lembaga khusus yang menangani korupsi di RUU KUHP," ungkap Febri.

Ia mengatakan hal itu sangat berisiko karena lembaga-lembaga khusus termasuk KPK, BNN, Komnas HAM, BNPT, PPATK, dan lain-lain dapat kehilangan kewenangan menangani kejahatan-kejahatan serius dan luar biasa .

"Atau setidaknya akan jadi ruang untuk digugat dan diperdebatkan. Ini sangat mengganggu kerja penegakan hukum, termasuk pemberantasan korupsi," kata dia.

Ia menjelaskan bahwa berbagai perlakuan khusus seperti pemberatan yang ada dalam undang-undang khusus juga tidak dikenal dalam RKUHP. Sebaliknya, berbagai keringanan dalam buku 1 RKUHP akan berlaku juga untuk tindak pidana khusus.

Secara mendasar, kata Febri, masuknya delik khusus dalam RKUHP adalah memberlakukan kejahatan serius dan luar biasa bagi masyarakat seperti kejahatan pada umumnya.

"Konsistensi menyikapi kejahatan-kejahatan serius seperti ini sangat dibutuhkan, khususnya untuk pemberantasan korupsi. Jangan sampai rencana pengesahan RUU KUHP kontra produktif bagi sejumlah upaya perang melawan korupsi, narkoba, dan lain-lain," ujar Febri.

Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menyebut beberapa persoalan yang dianggap berisiko bagi KPK ataupun pemberantasan korupsi ke depan jika tindak pidana korupsi masuk ke dalam KUHP.

"Itu tidak disebutkan juga apakah di dalam RKUHP itu sekarang tetap disebutkan kewenangan lembaga KPK bahkan terus terang sampai hari ini draf akhir dari RKUHP itu kami belum miliki, sudah kami minta tetapi selalu berubah-ubah walaupun kami ikuti terus tetapi bahwa ini draf terakhir, finalnya yang akan diserahkan ke DPR belum kami lihat juga wujudnya," kata Syarif pada Rabu (30/5).

Ketua DPR Bambang Soesatyo berjanji segera menyelesaikan RKUHP dan akan menjadikannya sebagai kado Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus.

Baca juga:
Kontras desak Pemerintah-DPR tunda pengesahan RKUHP
700 pasal dalam RKUHP mendapat koreksi

 

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Maryati
COPYRIGHT © ANTARA 2018