Makassar (ANTARA News) - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Selatan mensinyalir banjir yang melanda Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, terjadi akibat kerusakan kawasan hutan di daerah itu. Menurut Direktur Eksekutif Walhi Sulsel, Taufik Kasaming, di Makassar, Rabu, secara geografis, Luwu terletak di antara tiga kawasan pegunungan, yakni gunung Quarless, Veerbeck dan Karaeng Lompo. Data dari Walhi Sulsel, hutan di tiga kawasan pegunungan ini setiap tahunnya mengalami penyusutan sekitar enam hingga tujuh persen akibat perambahan. Meski dalam tiga tahun terakhir sudah tidak ada lagi perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH), namun aktivitas HPH masih menyisakan bekas akibat penebangan pohon yang tak terkendali di dalam hutan tersebut. Selain itu, pada lima tahun terakhir ini, kawasan hutan di situ pernah terjadi kebakaran sehingga dibutuhkan waktu yang sangat lama untuk memulihkan kembali kondisi hutan itu seperti bentuk semula. "Pemulihan hutan pada tiga kawasan pegunungan tersebut diperkirakan membutuhkan waktu sedikitnya 32 tahun bahkan kemungkinan proses recovery hutan ini akan semakin lama akibat terjadinya pemanasan global," ujarnya. Selain itu, lanjutnya, wilayah Luwu dan sekitarnya merupakan areal pertambangan sehingga menyebabkan Luwu akan menjadi langganan banjir setiap tahun. Hal senada dikemukakan Kepala Bidang Data, Jasa dan Pelayanan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Wilayah IV Makassar, Hanafi Hamzah bahwa banjir yang melanda Luwu ini kemungkinan sifatnya banjir kiriman. Hanafi memprediksi, bencana ini kemungkinan disebabkan kerusakan pada daerah-daerah hulu dimana sungai-sungai yang berada di sekitar wilayah itu telah mengalami sedimentasi yang berat. "Nah ini yang harus diselidiki," jelasnya. Bila dibandingkan dengan beberapa tahun silam, musibah banjir seperti ini belum bernah terjadi meski curah hujan cukup tinggi selama berhari-hari. "Namun saat ini, meski curah hujan yang turun hanya sesaat dengan intensitas hujan cukup tinggi akan terjadi banjir karena kondisi lahan Luwu sudah tidak memungkinkan lagi untuk menangkal curah hujan karena sudah tidak memiliki `catchment area` (wilayah tangkapan air) akibat terjadinya penggundulan hutan.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2007