Makassar (ANTARA News) - Sambil menagis histeris, Erni (32) merangkul anggota TNI berpakaian preman, sesaat setelah anggota tim SAR berhasil menembus Desa Binturu, Kecamatan Larompong, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, Kamis siang (26/7). "Habis semua pak," kata ibu dua anak yang kehilangan putranya, Abdul Chatib dan kakak kandungnya Suardi (35) pada musibah tanah longsor yang melanda desa mereka, Rabu petang (25/7). Tidak itu saja, rumah milik mereka juga amblas ke dalam jurang, diseret air bercampur lumpur. Kebun cengkeh mereka pun rusak berat. Kepada tim SAR, Erni menceritakan peristiwa naas yang menimpa keluarganya. Sebelum bencana datang, hujan deras terus mengguyur desa mereka selama beberapa hari. "Waktu hujan deras turun. Tiba-tiba muncul air bercampur pasir, kemudian bercampur lumpur lalu menghantam rumah kami. Semua berusaha menyelamatkan diri, namun anak saya Abdul Chatib terbawa arus," ujarnya sambil menangis. Muzakir (13), putera bungsu Erni juga sempat terseret, namun pamannya Suardi sempat mendorong dia ke luar dari jebakan lumpur dan selamat, namun Suardi sendiri terus terbawa arus. "Paman Suardi sampai sekarang belum ditemukan, sedangkan jenazah Chatib sudah dikubur," ujar Muzakir, siswa kelas dua SMP ini. Kondisi desa Binturu, yang terletak sekitar 20 kilometer dari ibukota kecamatan Larompong, saat ini sangat memprihatinkan. Banjir dan tanah longsor yang menimpa desa berpenghuni sekitar 2.000 jiwa itu, mengakibatkan sedikitnya 43 rumah rusak, 19 diantaranya musnah akibat amukan banjir. Ribuan pohon cengkeh dan kakao produktif di lereng pegunungan Bonto Wesukka juga hanyut. Tujuh warga tewas tertimbun longsor dan satu lagi belum dinyatakan hilang. Di desa Bukit Sutra, tetangga Binturu, yang berjarak sekitar lima kilometer, juga ditemukan tiga jenazah. Tim SAR berencana mencari sepuluh korban lain, yang dinyatakan hilang di Bukit Sutra. Tim SAR yang terdiri atas anggota kepolisian, TNI dan masyarakat setempat baru dapat menembus Binturu hari Kamis siang karena kondisi jalan darat terputus akibat longsoran, sedangkan desa Bukit Sutra baru akan ditembus Jumat siang ini. Bantuan bahan makanan belum bisa didistribusikan ke dua desa itu karena sulitnya transportasi. Untuk menjangkau Binturu, yang berjarak 20 km dari Larompong, tim SAR terlebih dahulu harus menyusur dengan mobil selama satu jam, kemudian berjalan kaki selama dua jam melewati titik-titik longsor yang cukup besar. Sedangkan untuk menjangkau desa Bukit Sutra yang hanya berjarak lima kilometer dari Binturu, dibutuhkan waktu dua jam berjalan kaki, karena harus melewati sedikitnya 20 titik longsor. Banjir bandang dan tanah longsor melanda sedikitnya 30 desa di lima kecamatan, Kabupaten Luwu, sekitar 300 km Utara Kota Makassar, sejak awal pekan ini. Lebih dari 20.000 warga mengungsi ke tempat-tempat yang aman. Pemkab Luwu bekerjasama dengan TNI dan Polri telah mendirikan Posko-posko darurat di berbagai desa tersebut untuk memberikan pelayanan makanan, kesehatan dan tempat berteduh. Jumat pagi, genangan air yang sebelumnya mencapai setengah sampai 1,5 meter, kini mulai surut. Saat ini warga dan tim penolong berusaha membersihkan sisa-sisa lumpur tebal di dalam rumah, sekolah, mesjid dan fasilitas umum lainnya. Meski air sudah surut, warga masih tetap trauma dengan bencana itu, apalagi daerah itu masih terus diselimuti awan tebal. Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) setempat memperingatkan bahwa hujan masih akan turun sampai akhir Juli 2007. Kerugian Rp500 Miliar Kalkulasi sementara Pemkab Luwu, kerugian akibat banjir dan longsor mencapai sekitar Rp500 miliar. Kabag Infokom Pemkab Luwu Rudy Dappi saat menerima kunjungan Gubernur Sulsel HM Ami Syam di Belopa, Kamis petang menyebutkan, tidak kurang dari 1.500 hektar tambak udang, ikan bandeng dan rumput laut rusak, areal persawahan yang rudak seluas 1.700 hektar, kebun kakao 1.800 hektar, dan rumah penduduk rusak berat dan ringan mencapai 700 unit. Gubernur Sulsel, HM Amin Syam menyalurkan bantuan bagi korban berupa uang tunai senilai Rp150 juta dan berbagai jenis bahan makanan yang diterima Bupati Luwu, H Basmin Mattayang, sementara Pemkab Luwu sendiri telah mengeluarkan dana sekitar Rp200 juta untuk program tanggap darurat. Basmin Mattayang menyebutkan, bencana alam yang melanda Luwu juga telah menyebabkan penderitaan warga bertambah, karena mereka kesulitan mendapatkan bahan makanan, air minum dan minyak tanah. Gubernur Amin Syam berjanji akan memperjuangkan bantuan dari pemerintah pusat. "Dalam dua atau tiga hari ini, saya akan berangkat Jakarta untuk minta bantuan. Jadi, saya minta kepada bupati agar secepatnya melaporkan data kerusakan dan korban bencana," pinta Amin. Kerusakan Hutan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Selatan menduga kuat, banjir yang telah menjadi langganan masyarakat Luwu saat musim hujan itu terjadi akibat kerusakan kawasan hutan di daerah itu. Menurut Direktur Eksekutif Walhi Sulsel, Taufik Kasaming di Makassar, secara geografis, Luwu terletak diantara tiga kawasan pegunungan yakni gunung Quarless, Veerbeck dan Karaeng Lompo. Data dari Walhi Sulsel, hutan di tiga kawasan pegunungan ini setiap tahunnya mengalami penyusutan sekitar enam hingga tujuh persen akibat perambahan. Meski dalam tiga tahun terakhir sudah tidak ada lagi perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH), namun aktivitas HPH masih menyisakan bekas akibat penebangan pohon yang tak terkendali di dalam hutan tersebut. Selain itu, pada lima tahun lalu, di kawasan hutan Luwu pernah terjadi kebakaran sehingga dibutuhkan waktu lama untuk memulihkan kembali kondisi hutan itu seperti semula. "Pemulihan hutan pada tiga kawasan pegunungan tersebut diperkirakan membutuhkan waktu sedikitnya 32 tahun bahkan kemungkinan proses recovery hutan ini akan semakin lama akibat terjadinya pemanasan global," ujarnya. Selain itu, lanjutnya, wilayah Luwu dan sekitarnya merupakan areal pertambangan sehingga menyebabkan Luwu akan menjadi langganan banjir setiap tahun. Hal senada dikemukakan Kepala Bidang Data, Jasa dan Pelayanan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Wilayah IV Makassar, Hanafi Hamzah bahwa bencana ini kemungkinan disebabkan kerusakan pada daerah-daerah hulu dimana sungai-sungai yang berada di sekitar wilayah itu telah mengalami sedimentasi yang berat. Lima tahun lalu, meski curah hujan cukup tinggi selama berhari-hari, banjir tidak pernah sehebat kali ini. "Namun dua atau tiga tahun terakhir, meski hujan turun hanya sesaat banjir tetap terjadi, karena kawasan hutan di Luwu sudah tidak memungkinkan lagi untuk menangkap hujan," ujarnya. Kawasan hutan Luwu, katanya, sudah tidak memiliki "catchment area" (wilayah tangkapan air) akibat terjadinya penggundulan hutan. Hanafi juga mengingatkan warga Luwu tetap waspada, mengingat cuaca belum akan bersahabat. Hujan deras juga berpotensi turun di wilayah bagian timur dan utara Sulawesi Selatan seperti Bulukumba, Sinjai, Luwu Utara, Luwu Timur dan Palopo.(*)

Oleh Oleh Muh Yusran dan Rolex Mala
Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2007