Jakarta (ANTARA News) - Penampilannya seperti orang yang hendak jogging. Sepatu, celana kain hitam yang nyaman, kaos putih dilapisi jaket biru tua, handuk kecil tersampir di lehernya.

Bedanya, Indri (bukan nama sebenarnya), juga mengenakan topi lebar seperti hendak tamasya ke pantai untuk menghalau terik matahari.

Mulut dan hidungnya tertutup masker hijau, pelindung dari asap kendaraan yang senantiasa melintas di Jalan Raya Mabes Hankam, Jakarta Timur, di dekat pintu tol Bambu Apus.

Dia memegang empat gepok uang -pecahan Rp2000, Rp5000, Rp10.000 dan Rp20.000- lalu melambaikannya kepada semua pengendara motor dan mobil yang lewat.

Indri adalah satu dari sekian banyak orang yang terlibat bisnis penukaran uang jelang Idul Fitri yang identik dengan budaya memberi “amplop” untuk sanak saudara yang masih belia.

“Saya di sini dengan keluarga, ada bapak, ibu dan adik,” kata Indri saat ditemui ANTARA News.

Ia menunjuk orang-orang berpakaian serupa yang menyebar di beberapa titik berbeda, dipisahkan oleh jarak beberapa puluh meter.

Pemandangan seperti itu bisa ditemui di sepanjang Jalan Raya Mabes Hankam hingga ke kawasan terminal Kampung Rambutan.

Mereka menawarkan jasa tukar uang untuk para pemudik yang hendak pulang ke kampung halaman namun belum punya uang pecahan kecil untuk dibagikan pada sanak saudara. Harganya dijual sedikit lebih mahal beberapa ribu ketimbang menukar langsung ke bank.

Tradisi tahunan

Indri sudah menjalani pekerjaan musiman ini sejak lima tahun silam saat masih duduk di bangku kelas 3 SMA. Menjual uang sudah terasa seperti tradisi.

"Ada euforia-nya juga."

Lama berkecimpung pada bidang tukar uang membuatnya familier dengan sebagian penjual. Ada yang dikenal secara pribadi, ada juga yang hanya familier wajahnya. Lagipula sebagian besar berdomisili di daerah sekitar terminal Kampung Rambutan, sama seperti dirinya.

"Ada juga yang sudah kaya, punya kontrakan, tapi masih jualan," katanya.

Awalnya dia menawarkan jasa tukar uang di Terminal Kampung Rambutan, tapi semakin lama pesaing mulai bermunculan sehingga dia mencari tempat lain yang lebih sepi penjual, tapi ramai calon pembeli.

Pecahan kecil seperti Rp2000, Rp5000 dan Rp10.000 biasanya paling banyak dicari pembeli.

Dari sekian banyak calon pembeli, orang-orang dari kalangan TNI yang markasnya tak jauh dari sana dianggap sebagai pembeli royal. Mereka tak segan-segan membeli uang dalam jumlah banyak hingga jutaan.

"Kalau ada mobil TNI, seperti Fortuner, yang sudah bersiap untuk menepi, semua penjual yang duduk langsung berdiri dan mengasongkan uang," katanya.

Tak jarang mereka mengejar mobil itu, menyongsong calon pembeli.

Modal

Indri dan keluarga biasanya menyiapkan uang Rp100 juta setiap tahun. Modalnya didapat dari banyak usaha, termasuk menggadaikan emas dan pinjam uang ke bank.

Untuk orang-orang yang sudah lama bermain di bisnis tukar uang, mereka biasanya membeli dari bandar.

Si bandar bisa menyediakan jumlah lebih banyak ketimbang lama mengantre jasa tukar uang di Monas atau Pekan Raya Jakarta di mana jumlah uang yang ditukar dibatasi.

“Di PRJ cuma dapat sedikit, jadi belinya sama orang yang punya kenalan di bank.”

Berkaca dari pengalamannya pernah berjam-jam antre di PRJ, setiap orang dibatasi hanya boleh menukar Rp1,7 juta. Jika langsung ke bandar, ia bisa mendapatkan uang lebih banyak, Rp100 juta juga tidak sulit.

Bedanya, ada biaya lebih bila membeli lewat bandar, sementara di PRJ tidak ada biaya tambahan.

“Tapi ke PRJ kan pakai ongkos, juga harus bayar tiket masuk per orang,” ungkap dia.

Mahasiswi

Di luar pekerjaan musiman jelang Lebaran, ia dan adiknya disibukkan dengan aktivitas di kampus sebagai mahasiswa, sementara ayahnya seorang pegawai dan ibunya adalah ibu rumah tangga. Gadis 21 tahun itu adalah mahasiswi di salah satu perguruan tinggi Semarang, Jawa Tengah.

"Kalau tahun depan saya sudah kerja, saya enggak akan mau (bisnis tukar uang)," lanjut dia, menambahkan aktivitas ini dilakukan demi kebutuhan ekonomi keluarga.

Indri menambahkan, dia harus berdiri seharian dan rela berpanas-panasan di bawah terik matahari Jakarta yang menyengat.

Seperti yang disebut banyak orang, posisi menentukan prestasi, itulah mengapa ia mulai keluar rumah sepagi mungkin untuk mencari tempat terbaik di pinggir jalan.

"Dari jam 7 pagi sampai jam 6 sore, besok mungkin mulai dari jam 6 pagi," katanya.

Posisi kadang-kadang berujung pada konflik. Pernah dia bertengkar memperebutkan tempat dengan seorang penjual uang lain yang datang lebih siang. Orang itu menganggap tempat Indri berjualan adalah miliknya karena pada hari sebelumnya dia berada di situ.

"Padahal aku sudah parkir motor di situ, dia baru datang jam 9.30 tapi langsung ambil tempat," ujar Indri yang diam-diam juga ketakutan saat mempertahankan tempatnya.

Ia dan keluarga hanya berjualan hingga petang. Pada malam hari, mereka memilih pulang daripada menghadapi risiko perampokan.

"Risiko lain juga pembeli nakal yang membeli dengan uang palsu," ujar dia.

Meski tidak tahu cara pasti membedakan uang palsu, Indri punya teori sendiri dalam mengetahui mana uang asli dan palsu.

"Kalo uangnya baru banget, masih kinclong, coba untuk diremas, terus kalau kertasnya  'mengembang' (kembali ke bentuk awal) berarti asli. Kalau uang palsu kertasnya tipis, jadi kalau diremas dia enggak mengembang."

Pemasukan dari tukar uang tergolong lumayan untuk pekerjaan yang durasinya hanya sekitar sepekan, tapi pengorbanannya juga tidak kalah berat.

"Untung bersih berempat, maksimal Rp5 juta," ungkap dia. "Menurut saya enggak worth it... Kalau ada pilihan jualan dan enggak jualan, saya akan enggak jualan."

Oleh Nanien Yuniar
Editor: Jafar M Sidik
COPYRIGHT © ANTARA 2018