Belu, NTT (ANTARA News) - Angin kencang berhembus tiada henti di punggung bukit Dusun Fohuk, Kecamatan Lamaknen, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Dingin sudah pasti menggigit tulang, apalagi dusun itu terletak di ketinggian 1.400 meter dari permukaan laut. Tetapi kondisi itulah yang setiap hari harus dijalani prajurit Indonesia di Pos Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan Indonesia - Timor Timur. Pos itu dijaga 15 tentara dan seorang perwira komandan. Mereka adalah garda terdepan perbatasan negara. Para prajurit itu harus memasang kewaspadaan tinggi demi menjaga batas negeri. Hanya diperlukan waktu satu jam berjalan kaki untuk mencapai wilayah Timor Leste, negeri yang satu dasawarsa lalu masih bernaung di bawah panji NKRI. Sejauh mata memandang, hanya dua hal yang bisa dinikmati para prajurit; hamparan sabana berumput halus yang sering kali samar disaput kabut dan punggung bukit yang seperti tidak putus saling menyambung. Jangankan manusia, hewan ternak semisal kuda, sapi atau ayam saja sulit dijumpai, karena pemukiman terdekat berjarak sekitar dua jam berjalan kaki. Manusia memang hampir setiap hari bisa dijumpai, namun hanya untuk beberapa saat. Umumnya mereka datang untuk melewatkan waktu di sabana, yang laksana padang golf; hanya saja luasnya sangat luar biasa. Sunyi menjadi bagian hidup seluruh anggota pos. Kalau sudah begitu, mengisi waktu menjadi perjuangan yang tak kalah berat dibanding tugas utama mereka; menjaga perbatasan negeri. "Kami harus bekerja sama agar bisa tetap cerah hati melakukan tugas mengawal perbatasan negara," kata prajurit yang segan disebut jatidirinya. Satu kali di pagi hari, di selembar kertas putih, paragraf demi paragraf ditulis prajurit itu. Isinya adalah ungkapan hati dan kerinduan kepada istrinya, yang ditinggal selama delapan bulan di Mataram. Selembar foto wanita berambut sebahu dengan bayi lelaki usia sekitar tujuh bulan di pangkuannya, menjadi teman saat menulis catatan hati itu. "Surat ini nanti saya titipkan waktu logistik didorong ke sini. Mungkin pekan depan. Cuma inilah cara berkomunikasi dengan istri selain ber-sms," kata prajurit itu. Ber-sms dari telepon genggam yang dia bilang "bisa", itu baru dapat dilakukan setelah berjalan kaki sekitar empat jam ke perkampungan terdekat, karena sinyal telepon cuma ada di sekitar perkampungan itu. Itu pilihan pertama. Kalau tidak, sinyal telepon dari perusahaan komunikasi milik Indonesia, pasti "dibajak" sinyal milik Timor Telecomm, dari Timor Timur, yang selama ini dikelola Australia dan Selandia Baru dari Dili. Jika sudah begitu, mengirim sms apalagi bertelefon-ria menjadi momok besar bagi kantong prajurit, karena biaya kirim atau terimanya sekitar Rp7.500 per sms. Berbicara di telefon genggam? Sediakan pulsa setidaknya Rp50.000 untuk berbincang selama 90 detik. Surat bernuansa kerinduan, dengan begitu, menjadi pilihan kedua pelipur lara walaupun balasannya bisa dipastikan lama tiba. "Tidak masalah, karena di dalam surat itu juga bisa diselipkan foto keluarga. Ini sudah saya terima empat lembar foto, jadi saya bisa tahu perkembangan anak," ujarmya. Prajurit itu biasanya juga berkirim foto ke keluarga di Mataram. "Saya memotret memakai hp dan mencetak di Atambua, sekaligus mengirim suratnya. Titip teman atau komandan pos yang kebetulan ditugaskan ke sana. Kebanyakan foto berseragam dan senjata lengkap, biar mereka bangga," katanya. Di pos itu, aliran listrik hanya ada pada malam hari selama lima atau enam jam, karena suplai solar penggerak generator harus dihemat. Penyaluran BBM dan bahan logistik lain terjadi hanya tiga bulan sekali dari markas komando taktis satuan tugas di Atambua. Bagi orang yang terlanjur dibesarkan di kota besar seperti Jakarta, bisa dipastikan akan tersiksa hidup di Dusun Fohuk. Lokasinya sungguh terpencil, walaupun hanya sejarak 95 kilometer dari Kota Atambua. Jalan darat terjal menuju pos itu tak mudah ditundukkan, karena hanya mobil gardan ganda, bermesin tahan air dengan ban ukuran 31 inchi ke atas yang sanggup melintasi "jalan" tanah berbatu itu. Dikatakan "jalan" juga tidak bisa begitu, karena ukuran pasnya hanya bisa dilalui dua kuda, sarana angkutan andalan warga setempat. Mobil hanya bisa memacu kecepatan rendah, karena ketika mobil datang, dari pemukiman setempat, anak-anak sudah berlarian di sampingnya. Mereka suka melambai-lambaikan tangan dan berseru sambil memamerkan gigi putihnya, "Selamat pagi... selamat pagi..!" Mereka memang hormat sekali pada orang yang lebih tua, dan ini berkat didikan orangtua mereka selain peranan para guru, pastur, dan suster di stasi (setingkat di bawah paroki) yang selalu menekankan budi pekerti, sungguh pun mereka didera kemiskinan. Untuk mencapai ke pos itu, selepas jalan aspal, diperlukan waktu sekitar dua jam. Mobil harus berjibaku dengan batu dan tanah liat sebelum tiba di sungai sangat lebar yang membatasi bukit berpemukiman dan yang tidak berpemukiman. Mobil gardan ganda seperti berjoget sehingga suspensi bekerja ekstra keras di atas batu-batu dalam kecepatan sangat rendah dan diperlukan kemampuan mengemudi nomor wahid agar mobil tidak terguling ke jurang di kiri-kanannya. Pos Fohuk berada di bukit kedua itu. Sungai sangat lebar yang saat kering bisa dijadikan lapangan bola itu sanggup mengurungkan niat orang berkunjung jika musim hujan tiba, karena air bisa kontan naik setinggi tiga meter dari keadaan normal. Tanah di NTT secara umum memang berpasir yang sulit menyimpan air, sehingga tidak heran jika musim kemarau, tanahnya sangat kering namun langsung banjir jika musim hujan tiba. Mobil berspesifikasi di bawah itu besar kemungkinan gagal menapaki jalan tanah dan batu itu. Kuda menjadi alternatif utama angkutan. "Beberapa kali kami memakai kuda milik warga untuk membawa logistik ke pos-pos seperti itu, karena mobil gardan ganda jumlahnya terbatas sekali. Memakai kuda yang dituntun memang lebih efektif pada keadaan kritis seperti itu, apalagi jika ada anggota yang sakit dan harus dievakuasi secepatnya, tidak peduli siang atau malam," kata Letnan Satu Infantri Asep Okinawa, Perwira Seksi Logistik satuan tugas itu. Kini mereka telah delapan bulan bertugas di sepanjang garis perbatasan. Dari sisi Indonesia, wilayah yang mereka jaga meliputi tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor Tengah Utara, yang berbatasan langsung dengan "enclave" Distrik Oecusse di Timor Timur. Wilayah itu ada di sisi barat, sedangkan di sisi timur, garis perbatasan itu terdapat di Kabupaten Belu, yang berbatasan dengan Distrik Bobonaro, Distrik Covalima, dan Distrik Same. Menurut rencana gelar operasi dari Markas Besar TNI, mereka masih harus bertugas di sana hingga delapan bulan ke depan. Pos Fohuk masih mungkin untuk dicapai dalam waktu beberapa jam perjalanan darat dari Atambua. Masih ada yang lebih buruk, yaitu Pos Aplal, Kecamatan Miomafo Timur, Kabupaten Timor Tengah Utara. Bisa dibilang mustahil mobil menuju ke pos itu, bahkan untuk mobil bergardan ganda sekalipun. ANTARA yang pernah berkunjung ke Pos Aplal bersama anggota-anggota pos itu, harus berjalan kaki selama beberapa jam sebelum bisa menuju jalan tikus ke sana. "Kalau waktu baru tiba di sini, masalah terberat adalah konsolidasi pasukan. Setelah beberapa bulan, pemantapan pelaksanaan tugas. Pada saat penghujung penugasan seperti ini, yang terberat adalah mengalahkan kejenuhan. Ini perjuangan tersendiri dan kepemimpinan para perwira sangat diuji di sini. Saya selalu menekankan masalah ini agar tidak ada pelanggaran," kata Komandan Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan Indonesia - Timor Timur, Letnan Kolonel Infantri Hotman Hutahaean, pada satu kesempatan. Pembinaan kesejahteraan mental, katanya, menjadi titik penting yang harus terus-menerus dilakukan. "Salah satunya memberikan hiburan. Kami memasang antena parabola agar mereka bisa mengikuti perkembangan peristiwa di Tanah Air maupun belahan dunia. Walaupun cuma menonton televisi selama beberapa jam, lumayanlah. Komunikasi dengan keluarga juga penting. Makanya kami juga mengupayakan alat komunikasi untuk anak buah," katanya. Pos Fohuk setelah beberapa saat, prajurit itu telah menyelesaikan suratnya. Amplop surat telah dilem dan alamat telah diterakan secara jelas menuju Mataram. Surat itu akan diposkan oleh temannya dari Seksi Logistik yang kebetulan telah melakukan pendorongan logistik dari Atambua. Pernah satu kali seorang prajurit anggota pasukan yang dipimpin Garibaldi di Italia pada abad ke-18 merindukan kekasihnya. Prajurit dari Napoli menuliskan puisi yang kemudian dibuatkan partiturnya. Lagu itu kemudian menjadi lagu rakyat Napoli berdialek Neapolitani, yang berbeda dari bahasa Italia, berjudul "O Surdato `Nnammurato", (Prajurit Sedang Jatuh Cinta). Lirik bait pertama lagu yang dibuat dari garis depan medan perang itu berkata, "Staja luntana da stu core...e a te volo cu` `o penziero`...niente voglie e niente spero...ca tenerte sempre affianco a me. Si` sicura `e chist`ammore...comm` i so`securo `e te. Oj vita, oj vita mia, oj core `e chisto core. Dalam bahasa Indonesia, artinya kurang lebih: "Malam-malam kulewatkan tanpamu. Aku tak bisa memelukmu, kamu tidak ada dalam capaian lenganku... Ohh hidup.. sayangku.. hanya kamulah cinta pertamaku. Kamu selalu menjadi yang pertama bagiku dan hanya kamu saja." Pada saat sendiri, kehadiran orang yang dekat dalam hidup memang sangat berarti. Bahkan jika itu hanya dalam benak, karena perasaan dekat dalam hati lebih penting. Para anggota Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan Indonesia-Timor Timur, tentu merasakan hal yang sama. "O Surdato `Nnammurato...".(*)

Oleh Oleh Ade P Marboen
Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2007