Canberra (ANTARA news) - Australia membantu memperkuat kapasitas Indonesia dalam menangani kasus HIV/AIDS melalui program kemitraan senilai 100 juta dolar Australia atau sekitar Rp800 miliar. Informasi yang dihimpun ANTARA News di Canberra, Jumat, menyebutkan program kemitraan itu juga dimaksudkan untuk membantu Indonesia agar lebih mampu mencegah dan membatasi penyebaran HIV, memperbaiki mutu hidup para penderita serta mengurangi dampak sosial-ekonominya di Indonesia. Pemerintah Australia memperkirakan HIV dapat membunuh 1,5 juta orang di Indonesia pada 2025 jika tidak ada tambahan bantuan dan daerah-daerah terpencil dikhawatirkan akan terkena dampak terparah. Melalui program kemitraan senilai 100 juta dolar ini, Australia mengharapkan kapasitas Indonesia dalam memimpin, merencanakan dan mengelola kasus-kasus HIV, serta program-program penanggulangan HIV yang terkait dengan pemakaian Narkoba dapat diperkuat. Pengembangan dan implementasi tanggapan terhadap HIV yang efektif dan berkelanjutan di Propinsi Papua dan Papua Barat juga dapat didukung melalui kemitraan ini mengingat wilayah paling timur Indonesia itu memiliki jumlah kasus infeksi HIV yang melebih rata-rata nasional. Hasil atas Surveilans Terpadu HIV-Perilaku Tahun 2006 (STHP2006) atau IBBS (Integrated Bio Behavioral Survey) di Papua menunjukkan prevalensi kasus HIV di wilayah tersebut paling tinggi di Indonesia. Hingga 31 Maret 2007, total kasus AIDS di Papua per 100.000 penduduk adalah 1.122 kasus dan 227 di antaranya meninggal dunia. Menurut hasil estimasi, populasi rawan tertular HIV di Papua mencapai 22.220 dan hanya sebagian kecil dari estimasi kasus tersebut ditemukan pada kelompok yang umumnya rawan seperti pengguna napza suntik, wanita penjaja sex (WPS), pelanggan WPS, dan waria. Sebagian besar atau sekitar 21.110 Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) adalah bagian dari komunitas masyarakat umum dengan tingkat distribusi prevalensi tinggi di wilayah yang sulit diakses dan daerah pedalaman. Hal tersebut diperkirakan berkaitan erat dengan tingkat pengetahuan tentang HIV/AIDS yang rendah dan kesulitan memperoleh kondom mengingat akses utama untuk mendapatkan kondom masih terbatas di apotek dan klinik. Faktor lain yang memicu tingginya prevalensi HIV/AIDS di wilayah itu adalah perilaku seks warga karena menurut hasil survei gejala infeksi menular seksual (IMS) lebih banyak ditemukan pada penduduk yang punya beberapa pasangan seks dan pada penduduk yang melakukan hubungan seks dengan imbalan.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2007