Islamabad (ANTARA News) - Presiden Pakistan, Jenderal Pervez Musharraf, kemungkinan melepaskan seragam militernya untuk membuka jalan bagi suatu perjanjian dengan mantan Perdana Menteri (PM) Benazir Bhutto setelah mereka bertemu di Abu Dhabi, kata seorang menteri, Senin. Penguasa militer Musharraf dan Benazir bertemu di kawasan teluk Uni Emirat Arab (UEA) itu Jumat (27/7) untuk berunding mengenai kemungkinan perjanjian pembagian kekuasaan, tapi tidak mencapai satu kesepakatan mengenai dua masalah penting, kata Menteri Urusan Parlemen Pakistan, Sher Afghan Niazi, kepada AFP. Hal-hal yang mengganjal adalah masalah peran rangkap Musharraf sebagai presiden dan panglima militer, dan satu larangan yang mencegah Benazir memegang masa jabatan ketiga sebagai PM, kata Niazi. Benazir, yang tinggal dalam pengasingan di London (Inggris) dan Dubai sejak tahun 1998 karena tuduhan-tuduhan korupsi terhadapnya, pada Minggu (29/7) menegaskan bahwa dirinya tidak akan menandatangani satu perjanjian pembagian kekuasaan dengan Musharraf selama Presiden Paskitan itu tetap merangkap sebagai panglima militer. "Kedua pemimpin itu bertemu di Abu Dhabi, Jumat untuk menjajaki satu kesepakatan politik, agar kekuatan-kekuatan moderat dapat bekerjasama untuk mengalahkan kelompok-kelompok garis keras dalam pemilu-pemilu mendatang," kata Niazi. Ia mengatakan, yakin bahwa Musharraf "akan bersedia melepaskan seragamnya, jika ia mendapat dukungan PPP (Partai Rakyat Pakistan) yang dipimpin Benazir dan menguasai Liga Muslim Pakistan." Pertemuan rahasia antara Benazir dan Musharraf belum secara resmi ditegaskan oleh para juru bicara mereka. Benazir, yang menjadi PM Pakistan dari tahun 1988 sampai 1990 dan tahun 1993 sampai 1996, mengemukakan kepada surat kabar Sky News pada Minggu bahwa mungkin akan pulang dari pengasingan untuk ikut dalam pemilu Pakistan yang menurut rencana akan diselenggarakan 2008. Akan tetapi, perempuan berusia 54 tahun yang putri sulung mantan PM Pakistan Ali Bhutto itu kemungkinan akan dipenjarakan karena tuduhan korupsi yang masih dihadapinya, apabila pulang ke Pakistan. (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2007