Bogor (ANTARA News) - Terkait pelabelan makanan mengandung unsur produk hasil rekayasa genetika atau transgenik (Genetically Modified Organism/GMO), pihak Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), saat ini dalam posisi menunggu keputusan Komisi Keamanan Hayati. "Di Indonesia keputusan untuk melabel (produk pangan olahan) yang mengandung transgenik atau tidak, itu ditentukan oleh Komisi Keamanan Hayati, nah...kami sebagai badan pengawas akan melihat keputusannya," kata Kepala Badan POM, dr Husniah Rubiana Thamrin Akib, MS, M.Kes, SpFK di Bogor, Jawa Barat (Jabar), Kamis. Usai meresmikan "Saraswanti Indo Genetech" (SIG) --sebuah laboratorium pendeteksi produk hasil rekayasa genetika non-pemerintah yang pertama di Indonesia--kepada wartawan ia mengemukakan bahwa biasanya satu negara membuat kebijakan melabel makanan-makanan yang mengandung bahan transgenik itu. Karena di Indonesia keputusan dari Komisi Keamanan Hayati itu belum keluar, kata dia, maka pihaknya masih menunggu, berapa persen kandungan produk transgenik yang diperbolehkan dalam produk pangan olahan. Ia memberi contoh, misalnya dalam produk pangan olahan yang mengandung GMO ditetapkan lima persen, maka yang dilabel adalah lima persen ke bawah, dan berarti persentase itulah yang akan diperiksa. "Cuma, karena sekarang ini belum ada keputusannya, pelabelan itu belum bisa dilakukan. Kita (BPOM) hanya bisa melabel kalau sudah ada keputusan dari Komisi Keamanan Hayati," katanya dan menambahkan bahwa dalam keputusannya nanti, bisa saja dua persen, satu persen, atau lima persen. "Sekali lagi, kami sangat menunggu keputusan yang diambil oleh Komisi Keamanan Hayati. Saya sudah tanya kepada anggota komisi itu, mereka katakan dalam waktu dekatlah, tinggal menunggu keputusannya saja," tambahnya. Ia mengaku sempat mendapat "bocoran" bahwa keputusannya adalah lima persen, meski belum diputuskan secara resmi. Dikemukakannya, keberadaan GMO kalau di negara-negara yang sudah melabel, ada yang dua persen --berarti di bawah dua persen tidak dilabel dan di atas baru dilabel-- ada negara yang lima persen, sehingga di Indonesia ini masih menunggu keputusan negara. "Nah, saya hanya bisa melabel berdasarkan keputusan melalui peraturan perundang-undangan. Kalau Komisi Keamanan Hayati sudah menetapkan. Saya mau melabel berapa, saya bisa periksa apa dua persen, lima persen. Saya `kan tidak bisa melabel begitu saja," katanya. Menjawab pertanyaan apakah produk transgenik itu berbahaya, ataukah masyarakat tidak perlu khawatir, Husniah menjelaskan menurut survei Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), di negara-negara yang mengonsumsi produk-produk transgenik, sejauh ini tidak dilihat adanya bahaya atau dampak buruk bagi kesehatan. "Jadi, WHO menyimpulkan bahwa produk-produk transgenik sampai saat ini aman bagi kesehatan. Kalau memang ada bahaya bagi kesehatan, biar bagaimanapun juga pasti akan dilakukan upaya (mengaji kembali-red) secepat mungkin," katanya. Ia mengemukakan bahwa dulu Komisi Keamanan Hayati di Indonesia ini vocal point-nya adalah Departemen Pertanian (Deptan), dimana di dalamnya ada berbagai instansi, termasuk Badan POM dan Departemen Kesehatan (Depkes). Namun belakangan ini oleh kebijakan pemerintah dipindah menjadi di Kementrian Lingkungan Hidup (KLH), sehingga perhatiannya terhadap makanan lebih luas lingkupnya. Sewaktu masih di Deptan, untuk makanan ini penekanannya sangat besar, namun begitu di KLH karena memang banyak hal-hal lain selain pangan, sehingga proses lebih lama. Ketika ditanya apakah nanti bila Komisi Keamanan Hayati sudah memutuskan, maka hal itu mengikat semua pihak, ditegaskannya bahwa keputusan itu jelas mengikat tanpa kecuali.(*)

Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2007