Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah memastikan kesepakatan kerja sama ekonomi Indonesia-Jepang (Economic Partnership Agremeent/EPA) dalam hal fasilitasi investasi tidak melampaui ketentuan yang ada pada Undang-Undang Penanaman Modal (UU PM). "Memang ada keinginan untuk meminta lebih banyak atau menawarkan lebih banyak. Tapi semua yang kita sepakati tidak lebih banyak dari batasan dalam UU PM dan peraturan presiden turunannya khususnya daftar sektor terbuka dan tertutup untuk investasi (perpres DNI)," kata Deputi Menteri Koordinator Perekonomian bidang Kerja Sama Internasional Mahendra Siregar, di Jakarta, akhir pekan ini. Menurut Mahendra yang merupakan Ketua Tim Negosiasi Investasi dalam EPA, kesepakatan kerja sama fasilitasi investasi memang terkait perkembangan UU PM dan Perpres DNI. EPA diharapkan akan ditandatangani saat kunjungan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe ke Jakarta tanggal 19-21 Agustus 2007. "Itu bagian penting yang dicakup dalam bab investasi. Jadi tanpa ada kerangka hukum yang jelas maka bab investasi tidak bisa diselesaikan karena akan jadi persoalan dalam implementasinya," ujarnya. Mahendra menjelaskan seperti dalam perjanjian penanaman modal antar negara fasilitasi yang diberikan terkait nasionalisasi dan kompensasinya, jaminan kelancaran transfer dana dan keuntungan, serta aturan bila terjadi perselisihan antara investor dan pemerintah. Lebih lanjut ia mengungkapkan bab investasi yang disepakati bersama Jepang tidak mengenal portofolio sebagai bentuk investasi. "Tapi dengan negara lain, Jepang mendapatkan kesepakatan itu (investasi portofolio)," tambahnya. Mahendra menegaskan masuknya dana dari luar negeri baru dapat disebut investasi jika telah diolah menjadi barang modal. Ketua Tim Negosiasi EPA, Soemadi Brotodiningrat mengatakan kesepakatan kerja sama fasilitasi investasi terdiri atas dua setengah bab yang terbagi menjadi tiga. "Bab pertama isinya normatif. Bab kedua tentang pengembangan iklim bisnis dan kepercayaan investor, yang setengah bab tentang sektor jasa karena liberalisasi jada sebagian menyangkut investasi" ujarnya. Perjanjian EPA dengan Jepang yang diharapkan akan ditandatangani pada 20 Agustus 2007 di Jakarta itu terdiri atas tiga 3 pilar yaitu liberalisasi perdagangan dan investasi, fasilitasi perdagangan dan investasi serta capacity building. Dalam bidang perdagangan Indonesia dan Jepang akan menghapuskan Bea Masuk (BM) bagi produk ekspor masing-masing. Pada saat perjanjian itu berlaku, Jepang akan menghapuskan BM untuk 80 persen dari 9.275 pos tarifnya, 10 persen dari pos tarif BM-nya dihapus bertahap antara tiga-10 tahun dan 10 persennya dikecualikan. Sedangkan Indonesia akan menghapuskan BM untuk 58 persen dari 11.163 pos tarif, 35 persen dari pos tarif dilakukan penurunan BM secara bertahap antara tiga-10 tahun dan tujuh persen dikecualikan. Dalam bidang jasa, Jepang dan Indonesia sepakat membuka akses untuk pasar tenaga perawat medik dan tenaga perawat lansia. Indonesia akan memberikan fasilitasi pembukaan perdagangan jasa teknik, penelitian dan pengembangan, penyewaan dan leasing di luar usaha penerbangan, jasa perbaikan dan perawatan otomotif terkait pabrik yang ada di Indonesia kecuali kapal laut dan penerbangan. Selain itu, Jepang diperbolehkan memiliki 49 persen saham perusahaan di sektor jasa. Dalam hal capacity building, Jepang akan memberi bantuan teknis di sektor energi, industri manufaktur, pertanian, perikanan, pelatihan dan keterampilan tenaga kerja, serta promosi ekspor dan Usaha Kecil Menengah (UKM). Jepang juga sepakat membantu pembangunan pusat pengembangan industri (Manufacturing Industry Development Center/MIDEC). Kesepakatan khusus yang dicapai adalah pemberian akses bebas masuk bagi produk bahan baku buatan Jepang untuk diproses oleh perusahaan Jepang di Indonesia yang disebut dengan mekanisme User Specifik Duty Free Scheme (USDFS). Sebagai kompensasinya, Jepang akan memberikan pelatihan kepada pabrik di industri pemakai bahan baku tersebut. Penandatanganan kesepakatan itu diharapkan dapat meningkatkan akses pasar barang ekspor Indonesia ke Jepang melampaui 20 persen dari total ekspor Indonesia yang mencapai 21 miliar dolar AS pada 2006. Kesepakatan itu juga diperkirakan akan membuka peluang bisnis sebesar 65 milar dolar AS pada 2010. (*)

Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2007