Jakarta (ANTARA News) - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan aliran dana Bank Indonesia (BI) ke DPR RI terkait pembahasan sejumlah RUU pada 2004 tidak merupakan penyelewengan, karena sesuai dengan peruntukan dari dana yang dianggarkan. "Secara akuntansi itu benar. Yang penting dana yang keluar sesuai peruntukan yang sudah dianggarkan dan digunakan, maka itu sah-sah saja," kata anggota BPK, Baharuddin Aritonang, di Jakarta, Rabu. Menurut Baharuddin, dalam audit BPK terhadap laporan keuangan BI tahun 2004 tidak ditemukan adanya penyelewengan anggaran yang dilakukan BI, sehingga BPK mengeluarkan penilaian wajar terhadap laporan keuangan itu. "Audit BPK menyebutkan laporan keuangan BI tahun 2004 wajar, karena memang semua yang dianggarkan sudah sesuai peruntukkannya," katanya. Sedangkan pengamat ekonomi Aviliani mengatakan seharusnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa menggunakan hasil laporan BPK tentang laporan keuangan BI tahun 2004 sebagai bahan pemeriksaan kasus pemberian dana BI ke DPR. "Laporan BPK terhadap BI tahun 2004 - 2005 kan `bersih`, jadi seharusnya KPK bisa mempercayai laporan BPK itu," katanya. Selain itu, pengamat dari Indef itu juga menilai jika data yang menyebutkan BI memberikan dana ke DPR adalah benar, maka itu adalah hal biasa yang dilakukan semua lembaga atau departemen setiap berhubungan dengan DPR. "Sistem yang berlaku saat ini menjadikan semua lembaga dan departemen melakukan hal yang sama untuk memberikan dana ke DPR guna sosialisasi pembahasan RUU. Saya tidak yakin kalau lembaga atau departemen tidak memberikan uang, RUU yang dibahas bisa selesai," katanya. Kondisi seperti ini, lanjut Aviliani, secara ekonomi sangat menghambat karena semua yang berurusan dengan DPR harus mengeluarkan uang, untuk itu harus segera dibenahi dengan melibatkan berbagai pihak terkait seperti pemerintah dan DPR sendiri. "Yang tidak adilnya, kalau ada kasus seperti ini anggota DPR yang menerima dananya tidak pernah kena. Sementara untuk lembaga atau departemen yang memberi dana tinggal tunggu saja sewaktu-waktu bisa muncul," katanya. Black campaign? Terkait laporan kasus ini oleh ICW ke KPK, Aviliani juga menilai kondisi KPK saat ini yang terbuka menerima laporan dugaan korupsi siapapun menjadi kelemahan lembaga itu, karena dimanfaatkan berbagai pihak untuk menjatuhkan lawan bisnis atau lawan politiknya. Aviliani menduga, pengungkapan data kasus aliran dana BI ke DPR ini juga tidak lepas dari persaingan pejabat-pejabat di BI terkait pemilihan Deputi Gubernur pada Nopember mendatang dan pemilihan Gubernur BI pada Mei 2008. "Ada orang dalam di BI yang memanfaatkan kondisi di KPK untuk melakukan `black campaign` terhadap lawan-lawan pesaingnya pada pemilihan Deputi Gubernur atau Gubernur BI mendatang," katanya. Kondisi seperti ini, katanya, sangat memprihatinkan karena di masa maju seperti ini masih ada beberapa pihak di BI yang bermain tidak "bersih", dengan membocorkan memo instansinya untuk kepentingan pribadi. "Bagaimanapun BI itu bank sentralnya negara, kalau ada yang bermain seperti itu kan bahaya buat negara," katanya. Bank Indonesia sebelumnya juga telah menyatakan bahwa data yang dipakai sebagai sumber dari kasus ini tidak otentik, karena tidak mencantumkan tandatangan, cap dan kepala surat Bank Indonesia. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2007