Jakarta (ANTARA News) - Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Korupsi (Jampidsus), Kemas Yahya Rahman, mengatakan Kejaksaan Agung tidak pernah menyimpan uang pengganti dalam kasus tindak pidana. Pernyataan itu disampaikan Kemas didampingi Kapuspenkum Kejaksaan Agung, Thomson Siagian, di Jakarta, Jumat, berkaitan dengan adanya sejumlah berita yang menyebutkan seolah-olah ada uang pengganti yang tersimpan di rekening Kejaksaan Agung dalam jumlah besar. Data hasil audit BPK pada 2006, uang pengganti kasus yang terjadi antara satu sampai 24 tahun yang belum ditagih oleh pihak Kejakgung hingga Desember 2006 tercatat sebesar Rp6,11 triliun "Hal itu tidak benar karena setiap uang pengganti ditagih kepada terpidana yang telah berkekuatan hukum tetap langsung disetorkan ke kas negara yang pada tahun 2006 dengan mata anggaran nomor 423473, sedangkan untuk tahun 2007 mata anggaran nomor 424111," katanya. Menurut Kemas, eksekusi uang pengganti yang belum tertagih hingga Desember 2006 tercatat Rp6,94 triliun disebabkan karena terpidana tidak mampu, tidak diketahui keberadaannya, meninggal dunia atau dibayar dengan menyicil. Hingga saat ini, lanjut dia, Kejakgung selaku eksekutor telah menerima pembayaran uang pengganti sebesar Rp10,3 miliar sedangkan senilai Rp188,4 miliar diganti dengan hukuman penjara. Sementara itu yang ditagih melalui gugatan perdata dan tata usaha negara senilai Rp1,35 miliar. Kemas membenarkan adanya kesalahan administrasi di beberapa Kejaksaan Tinggi di Indonesia yang menyimpan uang sitaan (barang bukti) di bank dengan membuka rekening. namun hal itu jumlahnya kecil. "Seharusnya, uang sitaan (barang bukti) dititip di bank pemerintah, tidak bergerak dan tidak berbunga" Barang bukti yang telah berkekuatan hukum tetap apabila dalam bentuk uang langsung disetorkan ke kas negara sementara bila berbentuk barang, tanah dan bangunan dilelang dan hasil lelang disetor ke kas negara, katanya. "Silahkan pihak yang berwenang mengaudit Kejaksaan, apabila ada kecurigaan tentang uang pengganti tersebut," tegasnya.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2007