Jakarta (ANTARA News) - Sorot matanya tajam, berdiri tegak, dan lugas menjawab setiap pertanyaan. Penampilan itu ditunjukkan M. Riski, anggota Paskibaraka 2007 asal Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang baru dikukuhkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai petugas pengibar Sang Merah Putih, pada detik-detik upacara peringatan Hari Proklamasi di Istana Merdeka, 17 Agustus 2007. Bertempat di Istana Negara, Rabu sore, Presiden didampingi Ibu Ani Yudhoyono dan Ibu Mufidah Kalla dan sejumlah menteri Kabinet Indonesia Bersatu menerima 66 orang anggota Paskibaraka 2007 yang merupakan utusan dari 33 provinsi. M Riski, kelahiran Calang, Aceh Jaya, 28 April 1990 ini, langsung mendapat perhatian khusus dari wartawan, maklum di samping merupakan utusan dari provinsi paling barat, juga diketahui merupakan anak sebatang kara atau yatim piatu karena telah ditinggal kedua orangtuanya Amiruddin, dan Suryati yang merupakan korban Tsunami di Aceh, akhir tahun 2004 silam. Bukan itu saja, Riski mengaku, tsunami tersebut juga telah merenggut nyawa tiga saudaranya. Bahkan untuk membiayai kebutuhan sehari-hari termasuk biaya sekolah, diterima dari dana pensiun orang tuanya yang merupakan pegawai negeri sipil (PNS). "Ya saya hidup dari uang pensiunan orang tua. Ini menjadi pemicu bagi saya untuk menjadi orang yang bisa lebih bagus lagi," ujarnya. Saat istirahat, usai mendapat wejangan dari Presiden Yudhoyono, M Riski mengaku sangat senang bisa menjadi utusan daerahnya, mewakili para pemuda Aceh dan anggota Paskibaraka merupakan cita-citanya sejak kecil. Riski, siswa kelas dua SMU 1 Seulimeum, Kabupaten Banda Aceh ini, mengungkapkan rasa nasionalismenya semakin tinggi terutama setelah masuk menjadi anggota Paskibaraka. "Ini merupakan kesempatan kepada saya untuk menunjukkan kepada para teman-teman di sekolah dan di lingkungan saya bahwa membangkitkan rasa nasionalisme itu sangat penting. Walaupun kita menjadi seorang yang penting, tetapi jika rasa kecintaan terhadap bangsa dan negara tidak ada, tentu tidak bisa memajukan bangsa," tutur Riski, dengan intonasi yang lebih tegas. Bincang-bincang wartawan dengan Riski tergolong singkat, atau sekitar tiga menit. Namun para wartawan sempat melontarkan informasi bahwa di sejumlah wilayah di NAD terjadi penurunan bendera Merah Putih dari oknum yang tidak bertanggunjawab, sebagai gambaran bahwa rasa nasionalisme di sana kembali tercoreng. "Terus terang, saya tidak tahu. Kita di karantina sejak sekitar satu bulan lalu. Namun, apapun dasarnya perbuatan menurunkan bendera apalagi Sang Merah Putih, itu tidak benar," tegas Riski. Riski dengan penuh harapan menyatakan, tetap merindukan atau menginginkan di bumi Aceh tetap tercipta suasana damai dan ketenteraman yang abadi. "Saya juga berharap tidak ada lagi perbuatan-perbuatan seperti itu, seperti penurunan bendera, dan tindakan-tindakan yang menimbulkan konflik," ujarnya. Ia juga menegaskan, setelah kepulangannya dari tugas sebagai anggota Paskibraka 2007, akan membagi-bagikan ilmu yang diperolehnya kepada teman-teman terutama terkait dengan masalah nasionalisme dan kebangsaan.(*)

Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2007