Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Dedy Djamaluddin Malik, menilai pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai kerjasama internasional sangat lemah dan terlalu normatif. "Sekali lagi saya katakan, isi pidatonya mengenai itu terlalu normatif. Padahal fakta yang ada, kekayaan kita terkuras oleh negara-negara lain karena lemahnya penataan kerjasama bisnis selama ini," kata Dedy Djamaluddin Malik di Jakarta, Kamis, menanggapi Pidato Kenegaraan dan Keterangan Pemerintah Atas RAPBN Tahun 2008 yang disampaikan Presiden. Seharusnya, lanjutnya, Presiden punya sikap politik jelas, yaitu melakukan renegoisasi bisnis. "Soal asumsi APBN pun terlalu optimis, misalnya tentang target pertumbuhan ekonomi 2008 di atas enam persen. Belum soal upaya menekan inflasi di bawah tujuh persen, patokan kurs dolar AS yang kira-kira Rp9.100-an per dolar, dan harga minyak dunia," tambahnya. Padahal, menurut Dedy Djamaluddin Malik, pengeluaran (belanja) sangat banyak, sementara pendapatan (dari pajak misalnya), agak susah mencapai target. "Semua ini diperparah oleh kultur birokrasi yang belum menunjang efisiensi," katanya. Namun, kata Dedy Djamaluddin Malik, ada satu hal yang cukup bagus dalam pidato Presiden yakni menyangkut upaya menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). "Yang perlu diapresiasi dari presiden, ialah sikap tegas terhadap NKRI. Itu saja," kata Dedy Djamaluddin Malik.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2007