Film serial drama kolosal "Laksamana Cheng Ho" diharapkan bisa ditonton di enam negara Asia, yakni Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan China awal tahun depan, kata mantan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra, yang membintangi film tersebut. Yusril, Selasa (14/8) di Studio Kantana, di Jalan Ratchadaphisek, sekitar 40 kilometer dari kota Bangkok, Thailand, mengatakan, film drama berdurasi 48 menit yang akan diproduksi dalam 26 episode itu diharapkan akan menjadi tontonan menarik karena sosok Laksamana Cheng Ho adalah simbol pemersatu bangsa-bangsa di Asia Tenggara pada abad ke-12. Film yang didukung oleh 6.000 aktris dan aktor enam negara tersebut adalah hasil produksi kerjasama Kantana Group Public Company Limited (perusahaan film Thailand) dengan Jupiter Company Global Film Limited dari Indonesia. Film kolosal Laksamana Cheng Ho yang dibuat dengan biaya sekitar Rp27 miliar atau sekitar tiga juta dolar AS itu disutradarai oleh Nirattisai Kaljareuk - sutradara asal Thailand yang mengantungi 29 anugerah perfilman itu. Film kolosal Cheng Ho diangkat dari biografi Admiral Cheng Ho yang hidup pada zaman Dinasti Ming, abad ke-12. Cheng Ho terlahir sebagai anak dari Ma Ha Zhi ketika terjadi pemberontakan bangsa Mongol di China. Ayahnya kemudian menamakan si bayi lelaki Cheng Ho Ma He yang artinya Damai. Kematian ayah dan abangnya, serta penculikan yang menimpa ibu dan saudara perempuannya mengubah hidup Ma He kecil menjadi seorang sosok legendaris dengan nama Laksamana Cheng Ho. Kasim yang berprestasi Sebelum menjadi laksamana, Cheng Ho adalah seorang pelayan istana atau kasim. Pengabdiannya di istana sebagai seorang kasim dilakukannya untuk membebaskan ibu dan saudara perempuannya dari tawanan kerajaan. Selama pengabdiannya di istana, Cheng Ho memperlihatkan prestasi yang baik. Akhirnya kaisar waktu itu memberinya kepercayaan untuk memimpin armada China guna melakukan misi dagang dan diplomasi ke berbagai negara di kawasan Asia dan Afrika. Menurut Yusril Ihza, selama memimpin ekspedisi laut ke 30 negara di Asia dan Afrika, Cheng Ho mengerahkan 200 kapal dan 30 ribu prajurit. Perjalanan Cheng Ho dan armadanya tidak dilakukan sekaligus. "Cheng Ho melakukannya dalam delapan kali penugasan," kata Yusril di sela-sela pengambilan gambar di Studio Kantana. Yang sangat menarik, kata Yusrl, peran yang dibawakan Cheng Ho tidak hanya melulu berdagang dan diplomasi. Sebagai penganut agama Islam yang taat, Cheng Ho juga melakukan syiar Islam ke setiap negara yang dikunjunginya. Bahkan, Cheng Ho juga pernah menangkap Raja Srilanka waktu itu dan membawanya ke China karena dinilai telah melakukan kejahatan yang bertentangan dengan kesepakatan agama-agama yang dianut ketika itu, yaitu Hindu, Buddha, dan Islam. Dalam menegakkan syiar Islam, Cheng Ho membawa statuta tiga agama (Hindu, Buddha, dan Islam) yang bertuliskan bahwa ajaran ketiga agama tersebut melarang perbuatan membunuh, merampok hak-hak orang, dan memperkosa. Kendala Bahasa Menurut sutradara Nirattasai Kaljareuk, kendala utama dalam membuat film Cheng Ho adalah bahasa. Skenario film harus dibuat ke dalam enam bahasa (China, Vietnam, Malaysia, Kamboja, Thailand, dan Indonesia). Saat ini proses produksi baru selesai 30 persen. Sisanya akan dilanjutkan di Jakarta dan China. Diharapkan Oktober mendatang seluruh pengambilan gambar sudah selesai. Di Indonesia, pengambilan gambar akan melibatkan aparat. "Hal itu akan lebih mudah," ungkap Sony, ketua rombongan wartawan Indonesia ke Thailand, yang juga salah seorang CEO dari Holding Company PT Jupiter Global Film Company. Menurut Yusril, pengambilan gambar di Nanjing (China) akan melibatkan 4.000 artis pendukung. Di sana, banyak objek bersejarah yang mendukung alur cerita Laksamana Cheng Ho, seperti bangunan masjid yang masih utuh. Cheng Ho memang lahir di Nanjing, namun dia memeluk Islam ketika berada di Yunnan. Diplomasi Budaya Selain Yusril yang menjadi bintang utama film Laksamana Cheng Ho, keunikan lain adalah pemeran pendukung dipercayakan kepada mantan Menteri Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Saifullah Yusuf sebagai Raja Majapahit. Selain itu, pesan yang diangkat melalui film sekaligus mengusung nilai-nilai Islam, globalisasi, dan penyebaran semangat kebersamaan dan perdamaian di antara bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Menurut Duta Besar Indonesia di Thailand Ibrahim Yusuf, film itu juga membawa pesan diplomasi damai di antara sesama negara anggota ASEAN. Oleh karena itu, ia berharap film tersebut bisa menjadi alat diplomasi budaya yang efektif dalam menciptakan kembali rasa kebersamaan di antara sesama bangsa dan negara di Asia Tenggara. Sementara itu, Sekretaris Jenderal ASEAN Dr. Surinpitsuan, dalam pidato singkatnya di depan para wartawan dari Thailand dan Indonesia juga menegaskan dukungannya kepada semua pihak yang terlibat di dalam proses produksi film Cheng Ho. Menurut Sekjen ASEAN, mengangkat sosok Cheng Ho ke layar televisi akan menjadi sesuatu yang sangat positif dalam merajut kembali semangat kebersamaan di antara negara-negara ASEAN. Sebagai ilustrasi, Surinpitsuan mengingatkan kembali bagaimana ASEAN lahir 40 tahun silam, yaitu karena jasa besar seorang diplomat Indonesia yang memiliki visi ke depan yang sangat jauh tentang perlunya kebersamaan di antara bangsa-bangsa di ASEAN, yaitu Adam Malik. (*)

Oleh Oleh Bahrul Alam
Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2007