Surabaya (ANTARA News) - Almarhum Herlyanto (40) adalah wartawan lepas yang ditemukan tewas di kawasan hutan jati Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Kleneng, Desa Tarokan, Kecamatan Banyuanyar, Probolinggo pada 29 April 2006. Kematian itu berlatar belakang pemberitaan dugaan korupsi plengseng sungai yang baru saja dibangun di Desa Tulupari, Kecamatan Tiris, yang kini sudah rusak. Almarhum juga memberitakan dugaan korupsi dana biaya operasional sekolah (BOS) di sebuah SD di Kecamatan Tiris yang dilakukan pejabat dan tokoh masyarakat setempat. Nasib malang Herlyanto membuktikan dilema bagi seorang wartawan untuk memberitakan kasus-kasus korupsi, bahkan penjara juga menunggu akibat pelaporan yang dituduh sebagai pencemaran nama baik. "Wartawan tidak dilindungi sebagai pelapor kasus korupsi, karena UU 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban hanya melindungi saksi yang menjadi korban. Itu bukan kata saya, tapi kata Undang-undang," kata Penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) H Abdullah Hehamahua. Ketika berbicara di hadapan sekitar 30 wartawan Surabaya yang menjadi peserta "Lokakarya Antikorupsi Bagi Jurnalis" di Surabaya (14/8), ia menjelaskan wartawan sebagai pelapor tetap dapat selamat bila bersikap profesional. "Saya yakin, kalau wartawan tetap memakai kode etik, bersikap profesional dan memiliki integritas, maka dia akan selamat juga," katanya. Bahkan, katanya, UU 13/2006 juga menguntungkan wartawan yang memberitakan kasus korupsi yakni wartawan sebagai pelapor korupsi dapat memperoleh dua per-mil dari uang negara yang dikorup sebagai penghargaan. Namun, sikap profesional itu bukan perkara mudah. Ketua PWI Jatim Dhimam Abror mengakui bahwa wartawan memang rawan dengan gugatan, karena mereka seringkali menerima data dari LSM tanpa melakukan konfirmasi. "Wartawan seringkali melakukan konfirmasi untuk sekedar menggugurkan kewajiban, karena itu konfirmasi seringkali diabaikan atau hanya ditulis bahwa narasumber tak dapat dihubungi atau handphone-nya tidak aktif ketika dikonfirmasi," katanya tersenyum. Namun, kata wartawan senior di Surabaya itu, ancaman terhadap wartawan itu bukan hanya datang dari koruptor yang merasa dicemarkan nama baiknya, melainkan juga dari pemodal pemilik media massa yang terkait dengan iklan. "Diakui atau tidak, pers sekarang sudah bersifat oligarkhis, karena ribuan media massa yang ada di Indonesia hanya dimiliki empat orang yakni seorang di Surabaya dan tiga orang di Jakarta, sehingga wartawan mungkin tak ditelepon pejabat, tapi ditegur pemodal," katanya. Mitra Strategis Kendati berada dalam dilema yang tidak sederhana, sosiolog Unair Surabaya Prof DR Hotman Siahaan MA menilai wartawan termasuk mitra strategis dalam pemberantasan korupsi. "Tapi ada yang lebih strategis dalam pemberantasan korupsi yakni reformasi birokrasi, karena struktur korupsi bersumber dari birokrasi yang mewarisi sistem sejak era kerajaan hingga penjajahan Belanda," ucapnya. Menurut dia, reformasi sudah mulai berjalan, termasuk di kalangan pers, tapi kalangan birokrasi justru "jalan di tempat" akibat struktur korupsi yang sistemik di dalam birokrasi. "Kuncinya, birokrasi kita lahir dari masyarakat yang belum dapat membedakan antara masalah privat dan publik, sehingga mereka mengalami konflik kepentingan, misalnya kasus Lapindo," tegasnya. Oleh karena itu, pers hendaknya dapat mendorong reformasi di tubuh birokrasi agar terjadi upaya pemberantasan korupsi yang lebih optimal di masa mendatang. "Hal yang mungkin dapat dilakukan pers antara lain mendorong pelayanan publik dilakukan dengan satu pintu untuk mengurangi banyak meja, kemudian mendorong pelayanan publik untuk dilakukan dengan kuitansi yang jelas," katanya. Pengakuan senada juga ditegaskan Penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) H Abdullah Hehamahua. Menurut dia, wartawan merupakan mitra strategis dari KPK untuk memberantas korupsi melalui pelaporan kasus korupsi, karena itu KPK menjalin hubungan kemitraan dengan pers untuk mengungkap kasus-kasus korupsi. "Kemitraan itu antara lain kami lakukan juga dengan mengeluarkan surat edaran yang strategis kepada polisi dan jaksa untuk menyelamatkan rekan-rekan wartawan," katanya. Surat edaran itu, katanya, meminta polisi dan jaksa agar pelaku korupsi yang menuduh wartawan melakukan pencemaran nama baik itu disidang lebih dulu. Dengan cara itu, katanya, jika koruptor terlapor terbukti melakukan korupsi, maka kasus pencemaran nama baik yang melibatkan wartawan dapat dihentikan. "Tapi, kalau koruptor yang disidang tidak terbukti melakukan korupsi, maka kasus pencemaran nama baik dapat dilanjutkan," ungkap mantan wartawan itu.(*)

Oleh Oleh Edy M Ya`kub
Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2007