Jakarta (ANTARA News) - Ekonom Bank Mandiri, Martin Panggabean, mengungkapkan bahwa krisis kredit perumahan (subprime mortgage) di Amerika Serikat (AS) yang menciptakan guncangan hebat di pasar modal global sebenarnya memberi berkah bagi pasar finansial Indonesia pada posisi yang sesungguhnya berdasarkan kondisi fundamental pasar, daripada kondisi faktual pasar. "Kekhawatiran krisis `subprime` menekan nilai aset-aset di Indonesia, namun hal itu malah menempatkan mereka sesuai dengan nilai fundamental yang seharusnya. Harga saham juga lebih `reasonable` dengan tingkat PE 15 kali lipat. IHSG akan berada pada level 2.000-2.200 dengan `support` kuat pada level 1.900," kata Martin di Jakarta, Selasa. Meski mengakui semakin banyak kesempatan untuk berinvestasi pada saham-saham terkoreksi cukup tajam dalam beberapa hari terakhir, Martin mengingatkan, agar saham-saham lapis kedua bukan merupakan pilihan yang terbaik mengingat fundamental perusahaan yang tidak mendukung dan terbukti memiliki volatilitas yang sangat besar dengan krisis itu. "Pasar modal kita ini kan masih tipis, jadi saham-saham `blue chips` saja dengan fundamental yang bagus bisa memperoleh PE hingga 15 kali lipat. Hati-hati dengan saham `second liners`," katanya. Mengenai kurs rupiah, Martin menegaskan, krisis "subprime mortgage" menyebabkan depresiasi rupiah dengan level fundamental Rp9.500-9.700 per dolar AS. "Di pasar kini orang mulai bicara level Rp9.700. Sekarang ini jika ada kejadian yang berpengaruh pada rupiah, kurs bisa anjlok ke level fundamentalnya Rp9.700. Namun pada akhir tahun diperkirakan kurs rupiah akan berada pada Rp9.300 dan Rp9.800 pada 2008," katanya. Selain faktor fundamental nilai tukar rupiah yang berada pada Rp 9.700, pelemahan nilai aset keuangan juga disebutnya sebagai salah satu alasan menurunnya nilai tukar rupiah. Ditanya mengenai penilaiannya atas langkah BI dalam menjaga volatilitas rupiah, Martin menegaskan, apa yang dilakukan bank sentral sudah tepat dengan melakukan "smoothing" pergerakan rupiah dengan terus aktif berada di pasar dan mendengar apa pendapat dari pasar. "Akibat krisis `subprime`, ada pengaruh positif bagi perbankan Indonesia. Salah satu alasan sulitnya perbankan menyalurkan kredit karena banyak nasabah yag meminjam langsung ke pasar di luar negeri. Dengan krisis ini dan tren kenaikan suku bunga perbankan, maka dalam 3 hingga 6 bulan mendatang, akan terjadi pembayaran utang besar-besaran dan nasabah akan mengalihkan sumber pembiayaan mereka ke dalam negeri yang lebih murah.Ini akan menaikkan pembiayaan perbankan," katanya. Sementara itu, terkait dengan level Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Martin menegaskan bahwa level yang akan tercapai pada akhir tahun adalah 8 persen karena jika lebih rendah dari itu, maka akan beresiko pada penurunan nilai rupiah. "Sedangkan target inflasi pemerintah yaitu 6,5 persen akan dapat dicapai," katanya. Menurut dia, SBI akan tercapai 8 persen dengan dua kondisi, yaitu telah pulihnya krisis subprime mortgage di AS dan kurs rupiah yang bisa dipertahankan pada Rp9.700-9.800. Berdasarkan skenarionya, SBI pada 2007 akan ditutup pada 8 persen yang kemungkinan terjadi pada Oktober atau November, kemudian pada 2008 akan stagnan pada level yang sama, dan baru kemudian mulai merangkak ke atas pada awal 2009. (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2007