Jakarta (ANTARA News) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman menilai kebijakan penguatan nilai mata uang rupiah jangan hanya mengandalkan kenaikan suku bunga acuan.

"(Kenaikan suku bunga acuan) ini perlu diapresiasi, namun belum cukup untuk menahan pelemahan rupiah," katanya di Jakarta, Selasa.

Menurut dia, instrumen kenaikan suku bunga tersebut belum cukup karena masih dalam ranah intervensi pasar keuangan dan penghematan anggaran.

Sedangkan, dalam rangka menjamin nilai tukar rupiah yang lebih kuat ke depannya, lanjutnya, diperlukan kebijakan yang dapat memperkuat fondasi perekonomian dalam jangka panjang, namun manfaatnya dapat dirasakan dalam jangka lebih pendek.

"Pemerintah perlu mempertimbangkan opsi penerimaan devisa melalui sektor pariwisata. Dari segi infrastrutkur, Indonesia dinilai telah memiliki fasilitas yang lebih baik mengingat telah dicanangkannya proyek-proyek infrastruktur di tahun-tahun sebelumnya," katanya.

Ia mengingatkan bahwa potensi kunjungan wisman pun menunjukkan tren positif dimana kunjungan wisman di wilayah Asia Pasifik tumbuh sebesar delapan persen atau jauh di atas pertumbuhan ekonomi dunia yang sedang lesu dengan ekspektasi 3,2 persen pada 2018.

Selain itu, menurut Assyifa, dalam jangka menengah pemerintah bisa mempermudah alur investasi dan juga meningkatkan daya tarik investasi menyusul capaian Indonesia dalam peringkat kemudahan berbisnis (EODB) yang dikeluarkan Bank Dunia.

"Walaupun kebijakan ini mungkin tidak akan langsung dirasakan manfaatnya, mengingat perekonomian dunia masih lesu, namun Indonesia dapat meningkatkan keunggulan komparatifnya di masa mendatang dalam hal investasi. Hal ini berpotensi mendatangkan investasi dalam jumlah besar apabila perbaikan capaian EODB dilakukan saat ini," urainya.

Baca juga: Menkeu katakan perfect storm ganggu pergerakan rupiah
Baca juga: BI awasi spekulan valas penyebab Rupiah lemah

 

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Kelik Dewanto
COPYRIGHT © ANTARA 2018