Jakarta (ANTARA News) - Ketua BUMN Watch, Naldy Nazar Haroen, mengatakan barang-barang bersubsidi seperti minyak tanah harus ditangani secara khusus dan distribusinya harus mudah dikontrol. "Kacaunya pendistribusian barang-barang bersubsidi akibat komitmen nasional yang buruk, sehingga terkesan hal-hal yang menyangkut hajat hidup rakyat itu banyak dilakukan setengah hati," kata Naldy, di Jakarta, Rabu, menanggapi terjadinya krisis minyak tanah akhir-akhir ini. Ia mengatakan, penguasa distribusi minyak tanah saat ini masih mencampur-adukkan kebijakan barang bersubsidi dengan barang dagangan. "Akibatnya, seperti yang kita lihat sekarang ini. Kekacauan terjadi dimana-mana, antrian minyak tanah terus terjadi hari-hari belakangan ini," katanya. Tragisnya lagi, menurut Naldy, di balik kesengsaraan rakyat banyak, ada yang diuntungkan, yakni pengusaha tertentu yang mendapat proyek triliunan rupiah dalam memproduksi tabung gas dan kompor gas yang hendak dibagi-bagikan secara gratis dalam program konversi minyak tanah ke gas tersebut. "Banyak orang juga tahu dan bisa menebak. Siapa yang bermain-main dalam kasus ini," tambahnya. Sebagai gambaran, sebelumnya pemerintah pernah mencanangkan konversi minyak tanah ke batubara dengan rencana membagi-bagikan tungku batubara secara gratis pula kepada penduduk. Sudah banyak Usaha Kecil Menengah (UKM) yang memproduksi tungku batubara, bahkan sampai ada yang menjual mobil dan menggadaikan rumahnya untuk modal. Namun konsep ini berubah, dengan dicanangkannya konversi minyak tanah ke gas, dengan membagi-bagikan kompor gas dan tabung gas gratis. Konsep tungku batubara tenggelam, banyak UKM bangkrut. Sedang kompor gas dan tabung gas hanya bisa diproduksi oleh pengusaha besar. Lalu kegiatan konversi minyak tanah ke gas ini pun terus bermasalah. Menurut Naldy, penyebabnya adalah produk barang-barang bersubsidi dengan non bersubsidi dengan disparitas harga yang cukup signifikan ditangani produsen atau BUMN yang sama dengan menunjuk distributor dan pengecer yang sama pula. Seperti minyak tanah untuk industri dan minyak tanah bersubsidi untuk rakyat banyak ditangani pihak yang sama, yaitu PT Pertamina. Distributornya juga yang menangani pendistribusian minyak tanah untuk industri. Karena, Pertamina yang mengatur siapa distributornya. Dari situ, menurut Naldy, ada mata rantai kekuasaan yang dicurigai sarat dengan permainan komisi dan upeti. Akibatnya sudah dapat diduga, akan ada permainan pengalihan barang-barang bersubsidi ke komersial, sehingga terjadi kelangkaan barang bersubsidi dan antrian dimana-mana, akibat pasokan yang terbatas tergerus untuk kepentingan komersial. Karena itu, lanjutnya, yang pertama, harus ada komitmen nasional yang jelas menyangkut penyaluran barang yang terkait dengan hajat hidup rakyat banyak itu. Barang-barang bersubsidi harus ditempatkan sebagai bukan barang komersial. Perlakuannya harus beda dengan barang-barang dagangan yang selalu memperhatikan tingkat keekonomiannya. Kedua, distribusi barang-barang bersubsidi tak boleh ditangani distributor dan pengecer yang sama, tapi oleh distributor dan pengecer khusus yang dipayungi suatu badan yang independen serta diawasi pihak-pihak terkait. Intinya, produsen atau BUMN yang memproduksi barang-barang bersubsidi harus rela menyerahkan pendistribusiannya kepada suatu badan/organisasi khusus dan distributor khusus serta pengecer khusus yang selalu diawasi sepak terjangnya oleh suatu badan khusus pula, demikian Naldy. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2007