Jakarta (ANTARA News) - Direktur Pengaduan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Handoyo mengusulkan sinkronisasi definisi pelapor dan saksi dalam kasus tindak pidana korupsi. Handoyo mengatakan itu dalam sebuah diskusi tentang perlindungan saksi dan korban di Jakarta, Rabu, terkait implementasi UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Menurut Handoyo, definisi saksi dalam UU itu tidak jauh beda dengan pengertian saksi secara umum, yaitu pihak yang menyaksikan atau mendengar suatu perbuatan melanggar hukum. Sedangkan pelapor dalam kasus korupsi tidak selalu menyaksikan pelaksanaan tindak pidana korupsi tersebut. Menurut Handoyo, pihak tertentu bisa menjadi pelapor dugaan korupsi karena pekerjaan pihak tersebut memungkinkan untuk mengungkap kasus korupsi. "Banyak pelapor dalam kasus korupsi yang tidak tercover dalam pengertian saksi dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban," katanya. Meski demikian, katanya, KPK menyambut baik diundangkannya UU Perlindungan Saksi dan Korban karena akan mempermudah KPK dalam mengungkap kasus dugaan korupsi. Menurut Handoyo, selama ini KPK tidak memiliki wewenang luas dalam melindungi pelapor kasus korupsi. Dia juga berharap, pelaksanaan UU Perlindungan Saksi dan Korban dapat sejalan dengan Standar Operasi Baku yang selama ini diterapkan KPK. Dalam standar tersebut KPK bisa merahasiakan identitas dan melakukan relokasi saksi serta pelapor kasus korupsi. UU Perlindungan Saksi dan Korban telah diundangkan pada 11 Agustus 2006. UU itu salah satunya mengamanatkan pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). LPSK sendiri dijadwalkan terbentuk pada awal 2008. Pembentukan LPSK didahului dengan sjumlah rangkaian proses seleksi calon anggota yang dilakukan oleh panitia seleksi. Ketua panitia seleksi calon anggota LPSK, Harkristuti Harkrisnowo mengatakan, panitia seleksi diberi dana Rp2,4 miliar oleh pemerintah untuk melakukan seleksi calon anggota LPSK.(*)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2007