Oleh Bob Widyahartono M.A. *) Jakarta (ANTARA News) - Pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Batam, Bintan dan Karimun yang tahun lalu dicetuskan pemerintah tetap ditindaklanjuti. Tentunya dengan secara konsisten penyiapan sarana untuk kelompok-kelompok industri (clusters) dengan prasarana Sumber Daya Manusia (SDM), fisik dan transportasi ke pusat-pusat distribusi di sekitar ke tiga pulau tersebut. Penyiapan sarana termasuk untuk Clusters itu dengan segala fasilitas tidak harus oleh pemerintah sebagai pengembang tungal, tetapi bahkan perusahaan swasta dan investor asing (Penanaman Modal Asing/PMA) yang kredibel dan memiliki kompetensi kewirausahaan dapat dilibatkan untuk berperan serta yang didalamnya terdapat clusters sesuai dengan lingkungan ekonomi lokalnya. Oleh karena itu, pihak Jepang dalam rangka IJEPA (Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement) secara konkret dapat ditawari/diajak membangun KEK di lokasi potensial dengan plan and program, termasuk hitungan investasi yang jelas menunjukkan cost benefit dalam jangka waktu terukur. Bagi investor untuk masuk dalamnya harus dbuat atraktif dalam arti pelayanan yang better, faster and cheaper (lebih baik, lebih cepat dan lebih murah) dibandingkan dalam angka, waktu dan ketentuan aturan KEK negara tetangga kita. Hal yang patut disadari dan perhatikan adalah kapasitas infrastruktur SDM dan fisik yang mendukung untuk realisasi KEK tersebut. Sesungguhnya, formasi pengembangan daerah tidak berarti lepas sepenuhnya dari tangan pemerintah pusat. Idealnya inisiatif dan kreativitas pengembangan masing-masing daerah diberi jalan oleh Ppemerintah pusat sesuai dengan potensi daerahnya, sementara daerah juga tidak bisa menafikan kewenangan pusat dalam hal-hal tertentu. Artinya, pemerintah pusat lewat departemen-departemennya masih memiliki wewenang dalam berkoordinasi memberi arahan (directions) dalam tugas-tugas di daerah-daerah tertentu. Kawasan ekonomi yang dimaksud selayaknya berada dalam koordinasi pelaksanaan program nasional sebagai negara kepulauan, yakni pertama, adanya pengakuan atas eksistensi organisasi pemerintah nasional (Menteri Koordinator/Menko Ekonomi) sebagai lembaga yang berwewenang mengatur koordinasi strategi pembangunan nasional; kedua, penciptaan kemandirian entitas publik lokal berdasarkan area geografiknya; dan ketiga, mewujudkan konsep citizens self government oleh warga di daerah itu sendiri masing-masing sesuai dengan pemberdayaan SDM sebagai subyek pembangunan. Faktor yang sangat ikut menentukan adalah infrastruktur fisik, jaringan jalanan, kapasitas operasi pelabuhan, suplai tenaga listrik dan telepon dan sebagainya. Selanjutnya, akuntabilitas dan transparansi kerangka kerja institusional, sistem peraturan dan legalitas, serta pelaku yang secara langsung maupun tidak langsung berperan serta, dan yang berkoordinasi dalam arti pelaku pendukung secara horizontal, seperti keberadaan bank, kantor pos dan telepon dalam kawasan. Awalnya yang sangat penting adalah perundangan yang transparan, akuntabel, peraturan perpajakan bagi investor yang jelas, seperti tax holidays dan Penanaman Modal Dalam negeri (PMDN) pemula dalam kawasan khusus. KEK didirikan dengan inisiatif pemerintah pusat masing-masing lalu didelegasikan wewenang pemberdayaannya pada pemerintah lokal. Kawasan itu dikenal sebagai zona industrial atau zona prosesing ekspor (export processing zones) dan sebagai pusat produksi production centers dengan fasilitasi seperti awalnya tax holidays dan utang preferensial dari bank (preferential loans). Primary dan secondary center cities Dalam tukar pikiran pertengahan dasa warsa 1990an, beberapa peneliti Jepang pernah menyinggung gagasan penciptaan primary dan secondary cities untuk menjadi koridor atau penyangga pembangunan KEK. Primary center cities atau kota kota sentral utama adalah kota-kota pusat utama dengan konsentrasi penduduk yang besar, mengemban fungsi administratif, dengan akses transportasi memadai, letak geografis yang membentuk "koridor" (corridor) Laut Jawa, kota industri dan turisme dan sebagainya. Dalam koridor ini (khususnya koridor Laut Jawa) adalah Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Makasar, Palembang dan Medan. Secondary center cities atau kota-kota sentral kedua terbentang mulai dari Pontianak, Banjarmasin, Balikpapan, Manado, Ambon, Kupang, dan Sorong, Biak dan Jayapura. KEK dapat berfungsi sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi setempat melalui transaksi horizontal dan vertikal dengan sub-contracting dan kerjasama atau aliansi strategis yang menghasilkan "efisiensi kolektif". Kota-kota sentral itu dapat menjadi "pintu gerbang" ke pedalaman yang efektif dan efisien. Ke masa depan dalam prosesnya, maka pengetahuan baik yang strategis maupun operasional lebih mudah dibagikan antar-perusahaan. Jangan lupa bahwa biaya transportasi, infrastruktur fisik dan komunikasi harus diperhitungkan, karena kalau biaya itu meninggi dibandingkan di luar kawasan, maka akan membuat tidak berdaya tarik. Di China kegiatan ekonomi sejak eranya Deng Xiaoping (1978) hingga awalnya terpusat pada zona ekonomi khusus (special economic zones) di kawasan pantai China yang didirikan tahun 1979 dan kemudian disusul dengan pendirian open cities (1984), kota-kota terbuka. Dalam kawan kawasan ini, pemerintah daerah mereka diberi wewenang perizinan, kejelasan fasilitas pajak untuk mengambil serangkaian langkah menggerakkan pembangunan ekonomi daerah tanpa setiap kali meminta persetujuan pemerintah pusat. Perusahaan-perusahaan di daerah tersebut dapat dan diizinkan langsung melakukan investasi sendiri dan mengambil keputusan dalam produksi, serta pemasaran. Dalam zona ekonomi China tersebut, kepemilikan swasta dan investasi asing dilegalkan di daerah masing-masing. Di China, zona ekonomi dan open cities secara efektif menjadi model bagi pengembangan kawasan Barat (geografis). Di Jepang dan negara Asia Timur lainya, zona ekonomi yang dimaksud harus diawali dengan tekad pemberdayaan daerah masing-masing sesuai potensi masing-masing daerah. Terdapat empat kategori yang masing masingnya memiliki sifat kewirausahaan (entrepreneurial). Pertama, yang juga sudah lama dikenal sebagai wacana adalah clusters, di mana barang-barang spesialisasi lokal diproduksi dalam kawasan distrik produk lokal. Kedua, clusters di mana beberapa perusahaan inti besar (large core firms) memiliki banyak perusahaan perusahaan sub-contracting atau pembuat komponen yang secara fisik mengelilingi yang besar itu dan di Jepang dikenal sebagai industrial castle town atau jokamachi. Ketiga, clusters di sejumlah kota besar, di mana banyak proses produksi dasar dalam urban processing clusters. Ke empat, kawasan industrial yang diciptakan oleh pemerintah setempat (local government-led industrial parks and estates) dan banyak di negara tetangga kita, seperti di Chu Chiang River Delta (China), Penang di Malaysia, Leam Chabang di Thailand, dan Haiphong di Vietnam. Sejumlah hal itulah yang agaknya harus menjadi pemikiran bagi tim perberdaya EPA sebagaimana dituturkan oleh Menko Ekonomi, Boediono, agar secara konkrit dan terprogram sekaligus mematangkan realisasi kebijakan industri yang lebih atraktif dan realistis dengan pembentukan KEK dalam kota-kota utama dan sekunder dalam tahun-tahun mendatang ini. (*) *)Bob Widyahartono M.A. (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat ekonomi studi pembangunan dan bisnis, terutama untuk kawasan di Asia Timur; Dosen Senior di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (FE Untar) Jakarta.

Oleh priya
Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2007