Brisbane (ANTARA News) - Kamis pagi, 26 Juli 2007, boleh jadi hari "istimewa" bagi tiga wartawan Indonesia di Canberra. Betapa tidak, pada hari itu, tanpa ada pemberitahuan sebelumnya, mereka diminta untuk "berhadapan" dengan belasan "anak muda" berparas Eropa dan Asia yang telah duduk rapi di salah satu ruang kelas yang ada di gedung Fakultas Studi-Studi Asia Universitas Nasional Australia (ANU). Saat berangkat ke kampus perguruan tinggi terbaik di negara benua itu, Robert Law, diplomat muda Australia yang mendampingi Kompas, Republika, dan ANTARA, tidak berkata apa pun tentang rencana tatap muka dengan para mahasiswa Amrih Widodo, spesialis Bahasa Indonesia yang pernah mengajar di Universitas Cornell, Amerika Serikat, ini. Setelah lebih dari setengah jam menunggu di luar kelas, pewarta Kompas, Republika dan penulis dipersilahkan masuk. Keterkejutan itu pun akhirnya tiba. Tanpa banyak basa-basi, Amrih langsung memperkenalkan apa yang disebutnya "tiga tamu istimewa dari Indonesia" dalam Bahasa Indonesia kepada para mahasiswanya itu. Amrih meminta ketiga tamu istimewanya itu memperkenalkan diri dan menceritakan peliputan apa saja yang telah mereka lakukan selama di Australia sebelum dilanjutkan dengan sesi tanya jawab dalam Bahasa Indonesia dengan para mahasiswanya. Kendati tidak banyak waktu yang tersedia, dua mahasiswa, keduanya orang Australia, sempat mengajukan pertanyaan dalam Bahasa Indonesia. Satu di antaranya, Daniel Abma, mahasiswa program sarjana bidang bisnis internasional dengan fokus Asia Tenggara. "Bagaimana pendapat remaja Indonesia tentang politik setelah reformasi," tanya Daniel dalam Bahasa Indonesia yang lancar, namun masih dipengaruhi logat Inggris Australia itu. Pengalaman bersama belasan mahasiswa/i ANU yang belajar Bahasa Indonesia dari Amrih Widodo itu mengingatkan penulis pada investasi jangka panjang bagi hubungan Australia dan negara-negara asal para mahasiswa/i itu dengan Indonesia. Disebut sebagai investasi jangka panjang, khususnya bagi hubungan Australia dan Indonesia, karena generasi muda Australia seperti Daniel Abma yang mengaku pernah menjadi guru sukarelawan Bahasa Inggris di Universitas Negeri Yogyakarta dan berkeinginan kembali ke Indonesia untuk bekerja di daerah pedesaan dengan Badan Australia untuk Pembangunan Internasional (AusAID) adalah bagian dari masa depan Australia itu sendiri. Bahkan, seperti kata Atase Pendidikan dan Kebudayaan RI di KBRI Canberra, Dr. R. Agus Sartono, MBA, jika pengajaran Bahasa Indonesia di lembaga-lembaga pendidikan formal di Australia dapat kembali digairahkan, hal hal itu tidak hanya strategis untuk memperkuat hubungan kedua negara, tetapi juga dapat mengurangi kecenderungan cara pandang sempit yang hanya mengedepankan pendekatan "stereotipe" dalam menilai Bangsa Indonesia. "Memahami Indonesia yang lebih baik sangat penting bagi Australia dan pengajaran bahasa merupakan poin sangat penting untuk memperkuat hubungan kedua negara," katanya. Lebih fleksibel dan inovatif Selain itu, dengan menggairahkan kembali pengajaran Bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa asing, khususnya di sekolah-sekolah, generasi muda Australia juga dapat terbantu untuk tumbuh menjadi orang-orang "yang lebih fleksibel dan inovatif." "Studi-studi bilingual berguna bagi anak untuk dapat mengembangkan strategi-strategi berfikir yang berbeda yang bermanfaat bagi mereka. Ambil contoh bagaimana negara Finlandia unggul di bidang pendidikan. Di Finlandia, semua siswa belajar tiga bahasa dan 44 persen belajar bahasa keempat, sedangkan 31 persen belajar bahasa kelima." "Di Belanda, 99 persen siswa tahun 12 belajar bahasa kedua, 41 persen belajar bahasa ketiga, dan 21 persen belajar bahasa keempat. Bandingkan dengan Australia yang hanya 13.4 persen siswa tahun 12 belajar `second language` (bahasa kedua). Oleh sebab itu sekarang saatnya untuk belajar bahasa Indonesia," kata Agus. Anak-anak yang belajar lebih dari dua bahasa umumnya lebih fleksibel dan inovatif dibandingkan dengan yang monolingual. Belajar bahasa asing, termasuk Bahasa Indonesia, juga membantu para pelajar dan mahasiswa meningkatkan kemampuan mendengar, memori (mengingat), kreativitas, dan berpikir kritis. "Semua itu merupakan proses berfikir yang akan meningkatkan proses pembelajaran secara keseluruhan," katanya. Terkait dengan upaya menggairahkan kembali pengajaran bahasa asing di Australia, kelompok delapan universitas riset terkemuka di negara itu (Group of Eight) kabarnya telah meminta pemerintah negara bagian dan federal untuk segera bertindak guna menghindari konsekuensi ekonomi dan keamanan jika tumbuh sebagai bangsa monolingual (hanya bisa berbahasa Inggris-red.). Data terakhir menunjukkan bahwa para siswa kelas 13 yang lulus dengan menguasai bahasa kedua turun dari 40 persen tahun 1960-an menjadi hanya 13 persen saat ini. Disebutkan pula bahwa orang Australia meluangkan waktu paling sedikit dibandingkan negara-negara anggota OECD lainnya untuk belajar bahasa asing, katanya. Dalam konteks hubungan Indonesia dan Australia, sebagai negara tetangga terdekatnya, terlalu mahal bagi Australia untuk "melupakan" Indonesia yang secara ekonomi tetap menarik dan menjanjikan di masa mendatang, katanya. "Belajar bahasa, sekali lagi, merupakan media yang sangat strategis untuk saling memahami, mempererat hubungan kedua negara dan melakukan kontrak dagang. Australia akan tertinggal jika menunda untuk melakukan investasi bagi generasi yang akan datang. Harus ada komitmen yang kuat dari pemerintah dan bukan diserahkan kepada warganya semata," katanya. Namun, apa yang diingatkan Agus Sartono itu tampak kontras dengan perlakuan Pemerintahan Perdana Menteri John Howard selama dia berkuasa. Karena kebijakannya menghentikan program nasional studi bahasa Asia di sekolah sejak sekitar 2003 dan memberlakukan "travel advisory" (saran perjalanan yang secara tidak langsung merupakan larangan perjalanan) bagi para warganya yang akan ke Indonesia misalnya telah menyulitkan para pelajar, guru, mahasiswa, dan dosen Australia untuk bepergian ke Indonesia. Wakil Dekan Fakultas Studi-Studi Asia yang juga Kepala Pusat Asia Tenggara ANU, Dr. George Quinn, misalnya, mengakui bahwa menurunnya jumlah pelajar Australia yang menguasai bahasa-bahasa penting Asia, termasuk Bahasa Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari penghentian program nasional studi bahasa Asia di sekolah mulai sekitar 2003 oleh menteri pendidikan saat itu, Brendan Nelson (kini Menteri Pertahanan). "Program ini sebenarnya sudah ada sejak tahun 1990-an, tapi distop Brendan Nelson atas alasan finansial," katanya. Alasan penutupan program tersebut adalah penghematan biaya, kendati di balik alasan itu mungkin ada "pendirian ideologis" karena program tersebut dianggap pemerintah yang berkuasa tidak sesuai dengan pemikiran mereka, kata Quinn yang menamatkan program kesarjanaannya dari UGM Yogyakarta itu. Akibatnya, kalangan perguruan tinggi yang memiliki program studi bahasa dan studi Asia mengalami kekurangan mahasiswa. "Kita sempat beberapa kali melakukan pendekatan kepada Pemerintah Australia, tapi `kurang mendapat perhatian`," katanya dalam Bahasa Indonesia yang fasih. Akibat kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada pengajaran bahasa-bahasa Asia, termasuk Indonesia, ini, secara akumulatif, sejak 10 tahun terakhir, terjadi penurunan jumlah siswa dan banyak SMA di wilayah Canberra yang menutup kelas bahasa, katanya. Apakah kondisi buruk ini bisa berubah jika kendali pemerintahan di tingkat federal kembali ke tangan Partai Buruh Australia (ALP)? Indonesianis senior ANU, Dr.Greg Fealy, termasuk di antara kalangan akademisi yang berpendapat begitu. ALP dan Kevin Rudd Menurut dia, kondisi merosotnya jumlah pelajar Australia yang menguasai bahasa Asia, termasuk Indonesia, mungkin akan terperbaiki secara signifikan jika ALP yang menang dalam Pemilu 2007 dan Kevin Rudd menjadi Perdana Menteri menggantikan John Howard. "Mungkin akan ada perubahan kalau Partai Buruh Australia yang menang karena Kevin Rudd cenderung berpaling ke Asia dan akan lebih banyak memberikan anggaran untuk studi bahasa-bahasa Asia," kata Greg Fealy. Pemimpin Oposisi Kevin Rudd dan ALP akan lebih sensitif terhadap masalah pengajaran bahasa-bahasa Asia di sekolah dan perguruan tinggi dibandingkan pemerintahan PM Howard yang berkuasa saat ini. Terlebih lagi, Kevin Rudd merupakan lulusan studi-studi Asia ANU yang pernah bertugas sebagai diplomat Australia di China dan ia dapat berbahasa Mandarin. ALP juga sudah menjanjikan anggaran sebesar 80 juta dolar Australia untuk mendukung studi bahasa-bahasa Asia, katanya. Dalam konteks hubungan Indonesia-Australia misalnya, belum ada satu pun Duta Besar Australia yang mampu berbahasa Indonesia sebaik mantan Duta Besar Inggris untuk Indonesia Richard Gozney, katanya. Selain kebijakan Howard yang menghapus program studi bahasa Asia di sekolah, "travel advisory" kerap dikeluarkan Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) Australia buat Indonesia itu juga terbukti menghambat orang-orang, termasuk dosen seperti dirinya. Kebijakan itu, kata Greg Fealy, telah mempersulit para dosen untuk bepergian ke Indonesia karena adanya tuntutan asuransi keselamatan. "Pihak universitas takut mengeluarkan santunan yang besar kalau sesuatu terjadi," katanya. Beberapa universitas tertentu di Australia bahkan melarang para dosennya ke Indonesia untuk keperluan tugas dan mereka yang melanggar larangan ini diberi sanksi. Padahal tanpa harus ke Indonesia, sebenarnya risiko mendapat kecelakaan, sakit, atau kecopetan di luar Indonesia juga bisa saja lebih besar dari risiko terkena serangan teroris, katanya. Kebijakan Canberra itu, seperti diakui Julie Johannes, guru Bahasa Indonesia di Sekolah Katolik Emmanus College Melbourne, juga telah menghambat para pelajar dan guru Bahasa Indonesia dari sekolah-sekolah di Australia untuk mengunjungi Indonesia sehingga mereka terpaksa memilih Malaysia sebagai tempat belajar Bahasa Indonesia bagi para siswanya. "Dulu sekolah saya mengirimkan anak-anak (siswa/i) ke Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia. Tapi sejak diberlakukannya `travel advisory`, kami tidak lagi boleh membawa anak-anak ke Indonesia. Dan pada 2008, sebanyak 20 orang siswa dan dua orang guru terpaksa dikirim ke Malaysia mengingat bahasa yang digunakan di negara itu mirip-mirip Bahasa Indonesia," katanya. Kondisi ini sangat menyakitkan bagi dia karena guru-guru Bahasa Indonesia lainnya, karena mereka sebenarnya tidak mau tetapi terpaksa "harus mau" ke Malaysia, padahal mengunjungi berbagai tempat menarik di Indonesia seperti Candi Borobodur di Jawa Tengah, Pulau Bali, dan Yogyakarta, adalah pilihan yang ideal bagi para pelajar Australia yang belajar Bahasa Indonesia, katanya. Namun, kepala sekolah takut digugat para orang tua murid jika tetap mengirimkan anak didiknya ke Indonesia karena takut terjadi sesuatu terhadap anak-anak mereka, kata guru lulusan Universitas La Trobe dan bersuamikan orang Indonesia itu. "Jadi `travel advisory` itu selayaknya dicabut," kata Julie. Upaya menyemai benih-benih yang akan semakin memperkuat dan mendewasakan hubungan Australia dan Indonesia di masa mendatang melalui sekolah-sekolah dan kampus-kampus di Australia, seperti yang ditunjukkan kelompok mahasiswa/i Amrih Widodo dan Julie Johannes, justru terhadang oleh kebijakan pemerintahan PM Howard yang cenderung hanya melihat kepentingan jangka pendek. Haruskah rezim di Canberra berganti dulu, baru ada perbaikan yang lebih signifikan dalam pengajaran asing, termasuk Bahasa Indonesia, di Australia? (*)

Oleh Oleh Rahmad Nasution
COPYRIGHT © ANTARA 2007