Jakarta (ANTARA News) - DPP Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) memberi batas waktu (deadline) 10 hari ke depan kepada pemerintah cq Kejaksaan Agung untuk mengumumkan delapan obligor BLBI tidak kooperatif (nakal), kata Ketua Umum DPP KNPI Hasanuddin Yusuf. "KNPI akan mengumumkan nama-nama obligor nakal BLBI sehari sebelum Ramadhan (12/9) di media massa, apabila Kejakgung tidak segera mengumumkan delapan obligor BLBI yang memiliki utang kepada negara puluhan triliun rupiah sejak 1998 itu," katanya usai "Dialog Mengurai Kasus BLBI dalam Perspektif Penegakan Hukum" di kantor DPP KNPI, Jakarta, Kamis siang. Menurut Hasanuddin, tekadnya untuk mengumumkan obligor BLBI nakal itu dimaksudkan agar pemerintah serius dalam menegakkan hukum bagi penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang tidak kooperatif secara adil dan tidak diskriminatif serta mampu menyelamatkan uang negara yang dikemplang obligor BLBI mencapai Rp123 trilun. "Sebaliknya, bagi obligor yang kooperatif dan menandatangani perjanjian pengembalian utangnya dengan mendapat surat keterangan lunas (SKL), tak perlu diributkan karena mereka tergolong kooperatif," katanya. Pengumuman 8 obligor nakal itu akan menambah kewibawaan pemerintah dalam penegakan hukum karena tidak ada anggapan bahwa adanya "tebang pilih" dalam menegakkan hukum, serta dapat memastikan kelompok masyarakat khsusnya pemuda tidak bingung dalam melakukan unjuk rasa teradap nama-nama obligor BLBI nakal yang harus segera diperiksa Kejakgung. Sementara itu, anggota Komisi XI DPR yang membidangi panitia anggaran, Max Moein menambahkan, selain 8 obligor BLBI nakal, masih ada lagi enam obligor BLBI yang masih menunda pengembalian utangnya senilai Rp9 trilun karena masih memasalahkan tingkat suku bunga, sehingga pemerintah harus segera menyelesaikan. Max moein yang juga Ketua Tim Pansus BLBI di DPR tahun 2002-2003 itu mengatakan, pemerintah perlu mengejar utang 16 bank yang terlikuidasi pada 1997 yang mencapai Rp11,9 trilun karena sampai saat ini penjualan aset bank tersebut oleh tim seleksi tidak jelas nilainya dan belum disetor ke kas negara. Ketika ditanya tentang adanya upaya pembatalan perjanjian (MSAA) dari pemrintah kepada obligor BLBI yang kooperatif dan telah mendapat SKL, Moein menegaskan, hal tidak mungkin dapat dilakukan, karena obligor yang kooperatif dan mendapatkan SKL dari pemrintah telah memiliki landasan hukum, ekonomi dan politik yang kuat. "Landasan hukum bagi obligor kooperatif dengan mendatangai perjanjian pengembalian utang (MSAA), yakni Tap MPR No VIII/2000, UU Propenas (2000-2004), Inpres No 8/2002 dan Keputusan Mahkamah Agung No: 3G/2003," katanya. Moein menegaskan, jika pemerintah membatalkan perjanjian MSAA yang telah dikuatkan dengan berbagai peraturan, UU dan Keputusan MA, maka dikhawatirkan para investor asing akan takut ke Indonesia dan bahkan bisa hengkang ke luar negeri, karena mereka akan menilai tidak ada kepastian hukum di Indonesia.(*)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2007