Jakarta (ANTARA News) - Ketidakstabilan pasar baja dalam negeri yang dipicu oleh persaingan tidak sehat, telah memperlemah daya saing industri baya nasional di pasar dunia, demikian dikatakan Ketua Umum Gabungan Produsen Besi dan Baja Seluruh Indonesia (Gapbesi) Daenulhay. Menurut Daenulhay dalam seminar yang digelar Persatuan Insinyur Indonesia (PII) di Jakarta, Kamis, persaingan tidak sehat yang tumbuh di pasar dalam negeri menyebabkan industri baja nasional yang seharusnya mampu bersaing dengan negara lain, yang terjadi justru sebaliknya. Produsen baja dalam negeri yang terkadang lebih mengutamakan likuiditas dibanding rentabilitas, secara tidak sengaja telah membentuk terjadinya perang harga. Menurut dia, persaingan tidak sehat tersebut bahkan membuat produsen baja ada yang mengurangi ketebalan baja hingga mengurangi kualitas baja, sehingga sangat merugikan konsumen. Selain itu, dia mengatakan, masalah impor baja, baik yang legal maupun ilegal juga dapat mempengaruhi daya saing baja dalam negeri. Menurutnya, sekitar 30 persen baja China akan membanjiri Asia, termasuk Indonesia dalam waktu dekat. Hal itu dipastikan akan mengganggu industri baja tanah air. China mengalami kelebihan pasokan sebanyak 43 juta ton baja pada 2005, dan jumlahnya meningkat menjadi 116 juto ton pada 2006 lalu. "Belum lagi baja ilegal yang masuk ke Indonesia," ujar dia. Dalam sambutan tertulis Menteri Perindustrian yang dibacakan oleh Dirjen Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka, Ansari Bukhari mengatakan, industri baja Indonesia sangat dipengaruhi oleh situasi baja dunia. Oleh karena itu, Departemen Perindustrian membuat "Strategi Besar" pembangunan industri baja. Dia mengatakan pengembangan industri baja yang dilaksanakan pada 2004 hingga 2009 diharapkan dapat meningkatkan konsumsi baja per kapita dari 29 kilogram pada 2004 menjadi 44 kilogram pada 2009. Usaha yang dilakukan untuk mengembangkan industri tersebut antara lain dengan meningkatkan pemanfaatan kapasitas terpasang (utilisasi) industri baja dari 53,1 persen pada 2004, menjadi 56,3 persen pada 2005, dan menjadi 57,8 persen pada 2006.(*)

Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2007