Surabaya (ANTARA News) - Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Prof Ir Mohammad Nuh DEA, akan segera merumuskan kode etik televisi dalam bentuk Peraturan Menteri (Permen). "Masyarakat banyak mengeluhkan `content` (isi program) televisi. Karena itu, kami akan merumuskan kode etik televisi pada 2008 bertepatan 100 tahun kebangkitan nasional," katanya di Surabaya, Sabtu. Usai berbicara dalam seminar nasional "Problema Demokratisasi Penyiaran di Indonesia" di kampus Unair Surabaya, ia mengemukakan, penertiban "content" televisi itu, berkutat pada etika dan bukan pembreidelan. "Saya jamin tidak akan ada pembreidelan, karena tidak ada gunanya. Apalagi yang penting bukan breidel, melainkan bagaimana media massa memenuhi 3-E dan 1-N. Kita akan tetap berada dalam `daerah` etika," katanya menegaskan. Yang dimaksud 3-E dan 1-N ialah, "education" (pendidikan), "empowerment" (pemberdayaan), dan "enlightment" (pencerahan), serta nasionalisme. Menurut mantan Rektor Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya itu, penertiban "content" itu akan ditetapkan dalam Permen tentang kode etik siaran untuk televisi dan radio. "Tapi, saat ini masih ada waktu sampai Hari Kebangkitan pada 20 Mei 2008. Karena itu, kami bersama MUI akan mendatangi pengelola siaran untuk mengajak pemilik stasiun televisi memahami 3-E dan 1-N," katanya menjelaskan. "Selain menertibkan 'content' televisi sesuai 3-E dan 1-N, kami juga akan menertibkan frekuensi radio dalam proses perizinan hingga akhir 2007, tapi KPI/KPID yang akan jalan untuk menertibkan," katanya menambahkan. Proses perizinan itu, katanya, akan ditunggu selama tiga bulan ke depan dan bila hingga 2008 tidak ada izin frekuensi, maka pihaknya akan melakukan "sweeping" (razia). "Kalau mereka tetap membandel, maka mereka akan ditutup. Sebab frekuensi itu memang harus diatur, karena kalau tidak diatur akan terjadi benturan frekuensi yang merugikan masyarakat sendiri," katanya memaparkan. Dalam seminar itu, Menkominfo menyerahkan IPP (Izin Penyelenggaraan Penyiaran) secara simbolis bagi tujuh pengelola radio siaran dari Surabaya, Jombang, Kediri, Malang, Pasuruan, Jember, dan Banyuwangi. "Ada 240 IPP yang baru dikeluarkan untuk radio se-Indonesia sebagai hasil FRB (Forum Rapat Bersama) antara Ditjen Postel Depkominfo dengan KPI/KPID," katanya mengungkapkan. Tentang media cetak, Mohammad Nuh menyatakan, pihaknya juga menjamin tidak akan melakukan Revisi UU Pers, tapi menyerahkan Revisi UU Pers sepenuhnya kepada lembaga pers, seperti Dewan Pers, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). "Pemerintah tidak akan masuk ke area teknis, karena itu memang tidak ada gunanya. Masa pemerintah kok seperti orang kurang pekerjaan, bahkan membreidel media cetak juga percuma. Biar direvisi sendiri dengan menyerap keluhan masyarakat," katanya menambahkan. (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2007