Jakarta, (ANTARA News) - Memiliki rumah dengan harga terjangkau, fasilitas lengkap apalagi lokasinya dekat dengan tempat berkerja menjadi impian bagi banyak orang. Sayangnya upaya mewujudkan hal itu sangat sulit untuk direalisasikan.

Apalagi bagi generasi milenial yang lahir pada kisaran tahun 1980 sampai 1995, sebagian besar dari mereka sedang merintis karier tidak hanya sebagai karyawan tetapi juga wirausaha. Namun, apakah dengan penghasilannya tersebut mereka akan mampu membeli rumah atau hanya sekadar angan diawang-awang?

Sebuah survei mengungkapkan penghasilan rata-rata generasi milenial sekitar Rp6 juta per bulannya. Jika dihitung-hitung maka dengan cicilan tersebut, mereka hanya mampu mengangsur sebesar Rp2 jutaan per bulan untuk rumah dengan harga Rp200 juta sampai Rp250 juta.

Dengan harga rumah sebesar itu maka generasi milenial hanya bisa mendapatkan rumah di luar Jakarta. Sementara itu sebagian besar dari mereka berkerja di Jakarta. Bahkan dengan penghasilan sebesar itu sudah tidak mungkin lagi membeli apartemen di Jakarta.

Pemerintah memang menyediakan subsidi kepemilikan rumah baik melalui Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Rumah (FLPP) maupun subsidi uang muka, namun untuk rumah-rumah tipe tersebut bukan selera generasi milenial yang merupakan kelompok masyarakat menengah.

Program satu juta rumah yang dijalankan pemerintah saat ini lebih menyasar kepada kelompok pekerja level menengah bawah, padahal dengan kondisi ekonomi saat ini banyak dari pekerja tersebut berada pada level menengah.

Dengan demikian terdapat kesenjangan di sini, hunian yang dipasarkan saat ini lebih banyak untuk level menengah bawah, serta menengah atas, sedangkan untuk level menengah (generasi milenial) masih sangat terbatas.

Banyak faktor membuat generasi milenial enggan menempati hunian bersubsidi yang paling utama fasilitasnya minim karena lokasinya banyak dipinggir kota. Bukan sekadar fasilitas dasar seperti listrik dan air yang mereka harapkan tetapi fasilitas yang mampu menunjang mobilitas mereka.

Generasi milenial membutuhkan jaringan internet cepat, kemudahan bergerak menuju tempat kerja atau ke pelanggan, serta fasilitas-fasilitas lain yang tidak tersedia dalam hunian bersubsidi saat ini.

Pemerintah agaknya sudah mengetahui persoalan ini, untuk itu melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat setiap tahunnya menyelenggarakan lomba desain hunian bersubsidi dengan melibatkan mahasiswa tujuannya sudah barang tentu agar sesuai dengan selera generasi milenial.

Pemerhati masalah rumah, Ali Tranghanda pernah menyatakan sangat memahami dengan persoalan yang dihadapi generasi milenial yang lebih suka tinggal di rumah sewa baik kos maupun kontrak rumah, yang penting bagi mereka fasilitasnya lengkap.

Menurut Ali, rumah-rumah dengan harga Rp150 juta ke bawah sebagian besar tidak masuk dalam kriteria generasi milenial. Mulai dari bentuknya yang monoton, tidak ada keluasaan untuk mengekspresikan dirinya, serta lokasinya yang sangat jauh dari tempatnya berkerja.

Kalau anak-anak sekarang mengistilahkan sebagai tua di jalan. Kalau memilih hunian seperti dipastikan habis biaya, habis waktu, serta produktivitas kerja menurun karena habis tenaga.

Pemerintah memang saat ini tengah membangun jaringan transportasi masal cepat untuk menghubungkan kota satelit dengan ibu kota Jakarta. Namun, yang terjadi saat ini lahan-lahan kosong yang dilewati jaringan transportasi tersebut kini sudah habis dikavling-kavling pengembang.

Pemerintah di sini memegang peranan penting terutama untuk mengendalikan tanah-tanah di lokasi strategis agar dapat dibangun hunian vertikal yang terjangkau bagi kelompok menengah.

Pemerintah dalam dapat menginstruksikan dan menugaskan kepada BUMN yang selama ini memegang konsesi dalam pembangunan jaringan transportasi untuk membangun rumah dengan harga terjangkau.

Kalau kondisinya diserahkan kepada pasar sepenuhnya maka sampai kapanpun akan sulit bagi generasi milenial untuk membeli rumah.

Peran pemerintah untuk mengambil alih sebagian tanggung jawab dengan membangun hunian-hunian vertikal milenial yang terintegrasi dengan transportasi (Transit Oriented Development/ TOD) harus secara serius dipertimbangkan.

Kemudian yang lebih penting lagi, konsep bank tanah harus segera diterapkan, meskipun sudah agak terlambat namun masih bisa dilaksanakan.

Pemerintah harus lebih sigap `mengamankan` tanah-tanah di sekitaran TOD baik itu LRT ataupun MRT sehingga tidak terjadi aksi spekulatif yang membuat harga tanah justru semakin tinggi.

Tanah-tanah milik BUMN/ BUMD seharusnya dapat "dihibahkan" untuk kaum milenial dengan harga yang terjangkau. Mengingat saat ini meskipun telah banyak BUMN yang menyasar pasar milenial namun harga yang ditawarkan masih jauh dari keterjangkauan kaum milenial.

Profil pembeli pun sebagian besar bukanlah kaum milenial dan sebagian lagi lebih kepada investor dengan harapan nantinya akan dapat disewakan atau bahkan dijual kembali.

Untuk menggarap hunian bagi golongan menengah sangat dimungkinkan bagi BUMN menggandeng pihak swasta selain mengurangi risiko beban biaya, juga terpenting sasarannya akan tercapai.

Seperti diketahui BUMN selain mengemban misi komersial juga dituntut dari kementerian BUMN untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dengan demikian kalaupun akan membangun hunian berkonsep Transit Oriented Development maka harganya harus terjangkau bagi segmen menengah.



Fasilitas pendanaan

Kemudian yang juga harus dipertimbangkan agar generasi milenial ini dapat memiliki rumah adalah menyediakan fasilitas pembiayaan yang terjangkau.

Fasilitas subsidi yang tersedia saat ini seharusnya dapat dilebarkan tidak hanya menjangkau kelompok menengah bawah, tetapi juga untuk kelompok menengah yang mayoritas merupakan pengusaha startup atau rintisan.

Hampir sebagian besar generasi milenial sekarang ini tidak hanya berkerja sebagai karyawan baik PNS, BUMN, maupun swasta. Banyak dari mereka yang justru menjadi pengusaha, yang sebagian besar sedang merintis bisnisnya.

Banyak dari generasi milenial ini berkerja dengan omzet yang sebenarnya besar bisa mencapai ratusan juta rupiah per bulan tetapi tidak terlihat dan sangat fluktuatif. Mereka biasanya menjalankan bisnis berbasis internet dan media sosial.

Generasi milenial yang memiliki penghasilan tetap mungkin tidak sulit bagi perbankan untuk menjangkau layanannya, cukup mengetahui data penghasilannya maka Kredit Pemilikan Rumah (KPR) maupun Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) dapat segera dicairkan.

Persoalannya untuk generasi milenial yang berwirausaha meskipun penghasilannya besar dilihat dari transaksi bank akan tetapi agak sulit bagi perbankan untuk menggandeng mereka. Untuk membeli rumah secara tunai juga tidak mungkin karena mereka lebh memilih uang tersebut untuk diputar.

Pengembang properti rupanya jeli melihat peluang ini, Mereka menawarkan fasilitas angsuran langsung tanpa harus melalui KPR/ KPA bank, bahkan jangka waktunya ada yang berani sama seperti bank sampai dengan lima tahun.

Namun pembeli hunian juga harus jeli melihat kemajuan pembangunan hunian yang akan dibelinya, terutama untuk apartemen. Jangan sampai sudah terlanjur membayar tetapi huniannya tidak kunjung selesai dibangun, sementara uangnya sudah terlanjur mengendap lama.

Berbeda dengan bank yang tentunya hanya akan mengucurkan fasilitas KPR/ KPA untuk hunian yang dianggapnya memiliki kelayakan dan pengembang memiliki reputasi yang baik.

Kembali untuk menyasar generasi milenial terutama yang berkerja sebagai wirausaha maka perbankan harus masuk ke dalam komunitas. Karena banyak dari pengusaha rintisan ini yang bergabung dalam suatu komunitas.

Melalui wadah komunitas ini maka rekam jejak dari pengusaha akan lebih dapat dilihat dan bakal memudahkan perbankan mengucurkan dananya.

Dengan demikian persoalan yang dihadapi generasi milenial untuk memiliki rumah sebenarnya dapat diatasi melalui keterlibatan pemerintah yang kemudian mendelegasikan misinya kepada BUMN.*

Baca juga: Pengamat usulkan BUMN bantu milenial miliki rumah

Baca juga: Gradana tawarkan solusi DP rumah bagi milenial




 

Pewarta: Ganet Dirgantara
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
COPYRIGHT © ANTARA 2018