Tokyo (ANTARA News) - "Siapa untung dan siapa rugi dalam EPA?" demikian pertanyaan kritis banyak pihak mengenai kerjasama ekonomi Indonesia-Jepang yang baru saja ditandatangani PM Abe dan Presiden Susilo Bambang Yudhyono 27 Agustus lalu dan mendapat liputan luas di Tanah Air dan juga Jepang. "Economi Partnership Agreement" (EPA) sebetulnya merupakan konsep kerjasama ekonomi global yang mau tidak mau harus dilakukan oleh suatu negara, jika tidak ingin tergilas, tertinggal, bahkan bisa menjadi korban dari perkembangan perdagangan internasional. EPA merupakan keniscayaan ekonomi global, namun untuk memperoleh keuntungan dari kerjasama itu, perlu mengetahui apa yang melatarbelakanginya, agar pertumbuhan ekonomi yang sekarang terjadi di Asia bisa berimbas bagi kemakmuran Indonesia dalam jangka panjang. Seperti yang ditegaskan William K Tabb, professor ekonomi dari Queens College, City University of New York dalam bukunya "Tabir Politik Globalisasi" perdagangan internasional memang tidak bisa terhentikan. "Namun persoalan krusialnya adalah mengakui pentingnya penataan terhadap aturan-aturan yang lebih adil bagi ekonomi (dan politik) di dunia," ujar penulis "The Postwar Japanese System: Cultural Economy and Economic Transformation" itu. Bagaimanapun, perdagangan global akan terlihat dalam persepektif antara negara ekonomi maju dan negara berkembang. Negara kaya dan negara miskin. Peluang yang diperoleh pun bergantung pada seberapa jauh kedua negara mampu memaksimalkan potensi liberalisasi perdagangan tersebut. Bagi Jepang, abad 21 adalah abadnya Asia, sehingga fokus kebijakannya juga lebih meng-Asia. Agar cepat diterima mitra Asia-nya, Negeri Sakura itu pun mengusung motto "Mutual Prosperity with Asia" lewat EPA tadi. Jepang sedari awal, seperti kajian JETRO (Japan External Trade Organization) berupaya menawarkan "win-win solution" bagi mitranya guna mempercepat rencana Jepang membangun kawasan ekonomi yang kuat guna mempertahankan kemajuan ekonominya. EPA sendiri mulai digelar Jepang tujuh tahun lalu, yang sejak awal memang telah mendapat restu GATT (General Agreement on Tariff and Trade), instrument dari WTO yang mendorong habis-habisan untuk menciptakan perdagangan internasional sepenuhnya. "Sejak semula tujuan EPA adalah mengukuhkan kawasan perdagangan bebas," ujar Akira Kotera, pengajar pasca sarjana di Universitas Tokyo dan peneliti masalah-masalah perdagangan internasional. Dalam pandangan peneliti dari lembaga pengkajian RIETI (Research Institute of Economy, Trade and Industry) itu, EPA hanyalah merupakan "penghalusan konsep" semata, karena nantinya justru menggiring kepada implementasi ketentuan WTO, yakni kerjasama bagi sesama anggota WTO saja. Ia mengingatkan bahwa WTO dan juga GATT adalah suatu bentuk dari perjanjian internasional. Dan hak untuk menginterpretasikannya hanya berada pada anggota yang terlibat. "Dengan kata lain, Jepang-lah yang berhak menginterperetasikan ketentuan-ketentuan GATT, termasuk EPA," kata pakar hukum internasional itu. Jepang saat ini sudah mengantongi kesepakatan EPA dengan delapan negara, yakni Mexico, Chili dan enam negara ASEAN. Tiga tahun kedepan, Jepang terus memburu EPA, paling tidak sepuluh negara lagi yang menjadi sasarannya, yaitu Vietnam, India, Australia, dan Uni Eropa. Batu loncatan Sebagai perbandingan, bagaimana Filipina mengikuti jejak Singapura dan Thailand yang lebih dulu menandatangani EPA (2002), tidak lama setelah badai krisis keuangan menerjang Asia Tenggara. Thailand bergabung pada 2003, kemudian Malaysia (2005), Filipina (2006) dan Brunei Darussalam (Juni 2007), serta terakhir Indonesia Agustus 2007 lalu. Selain EPA, Jepang juga memiliki istilah lainnya seperti FTA (Free Trade Agreement) atau kerjasama liberalisasi dan perlindungan investasi seperti yang dilakukannya dengan Kamboja. Filipina dan Thailand, sepertinya terdorong juga oleh kerjasama EPA yang dilakukan antara China dan negara bagiannya sendiri, Hong Kong pada Juni 2003. Keduanya memahami betul perlunya mengintegrasikan pasar mereka guna memperbesar akses pasarnya. Apalagi Hong Kong sejak lama terkenal sebagai jembatan bagi akses pasar dunia. China memang menjadikan propinsi istimewanya itu sebagai "springboard" atau batu loncatan untuk menjangkau dunia. Dengan terintegrasi ke pasar global, maka produk dan jasa China pun menembus pasar internasional. Keuntungan lainnya, China memperoleh kualifikasi profesional dan juga peningkatan fasilitas perdagangan dan investasi. Lain lagi dengan Filipina yang terkesan hati-hati, namun menyadari bahayanya bila melewatkan EPA. Kajian bersama Jepang dan Filipina yang dilakukannya memang menyarankan untuk cepat bergabung, tetapi dengan memperhatikan tiga faktor, yaitu pengaruh ekonomi, dampak sosial dan dampak proses EPA. Dalam riset mengenai peluang dan hambatan EPA, peneliti Jepang, Shujiro Urata (Waseda University) dan rekannya Kezo Kiyota (Yokohama National University) menjelaskan harapan-harapan dari kerjasama itu. Peluang besar bisa diperoleh sesuai kepentingan masing-masing. Filipina melihat perlunya perbaikan di sektor keuangan, energi, perdagangan, usaha kecil dan menengah, alih teknologi hingga sumber daya manusia dan turisme. Meski demikian keduanya mengakui masih ada hambatan yang menghadang, terutama kinerja birokrasi dan iklim politiknya, namun sama-sama memahami arti positif yang diberikan EPA. Shujiro Utara sendiri merupakan ekonom tersohor dan relatif hafal dengan kondisi ekonomi Indonesia, sehingga saat diminta melakukan kajian serupa, dengan cepat ia bisa memetakan keuntungan yang bisa didapat bagi Indonesia. Lebih baik optimis Dalam memandang EPA, tentu saja optimisme akan lebih banyak memberi manfaat ketimbang sikap yang pesimis, demikian pandangan kedua belah pihak. Deplu Jepang sendiri menyebutnya sebagai babakan baru bagi kerjasama ekonomi yang lebih mendalam serta sebagai upaya awal menghapus sikap "wait and see" investor Jepang. "Ini akan mengubah masa depan kedua negara lebih baik, terlebih dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi di kawasan," ujar juru bicara Deplu Mitsuo Sakaba kepada Antara Agustus lalu. Menteri Sektertaris Negara Hatta Rajasa saat berkunjung ke Tokyo, akhir Agustus lalu, juga menekankan hal yang sama, bahwa yang terpenting adalah terbukanya akses pasar, sehingga mendorong Indonesia bisa memasuki pasar Jepang dan menjadikannya sebagai batu loncatan ke pasar global. "Sudah barang tentu kerja keras, inovasi dan kreaifitas menjadi kunci utamanya dalam menumbuhkan kemampuan daya saing di kawasan," ujarnya. Dalam pandangan Dubes RI untuk Jepang, Jusuf Anwar, kerjasama EPA tentu saja melengkapi kerjasama yang sudah ada sebelumnya, sehingga harus dimanfaatkan betul oleh para pengusaha Indonesia. "Bersikap optimis selalu lebih baik ketimbang pesimis, karena hanya orang optimis yang mampu melihat peluang dan memberi makna suatu kerjasama," kata mantan direktur eksekutif Asian Development Bank (ADB) itu. Semangat optimisme juga ditunjukkan oleh Anto Suroto, pengusaha kerajinan yang sukses berusaha di Jepang. Menurutnya peluang di Negeri sakura terbuka lebar, karena produk Indonesia, diminati publik Jepang, namun hanya kalah dalam kualitas dan disain. "Sebaiknya Indonesia jangan bertarung dengan produk yang bersifat massal, karena akan kalah dari China, jadi harus mencari yang spesifik dan bermain di pasar khusus," ujar Anto yang berkolaborasi dengan mitra Jepangnya. Sebetulnya EPA hanya mengukuhkan saja hubungan ekonomi Jepang dan negara-negara di kawasan Asia Timur, yang menurut Akira Kotera, saling ketergantungan di bidang ekonomi antara Jepang dan Asia Timur, terutama dengan negara-negara ASEAN sudah sejak lama ada. "Sekarang ini sedang mengarah ke tingkat yang lebih luas lagi berupa integrasi ekonomi di kawasan Asia Timur," ujarnya. (*)

Oleh Oleh Benny S Butarbutar
COPYRIGHT © ANTARA 2007