Jakarta (ANTARA News) - Panglima TNI, Marsekal Djoko Suyanto, mengatakan bahwa di masa depan hubungan antara Indonesia dengan Rusia di bidang militer tidak hanya terbatas pada pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista), melainkan juga kerjasama untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM). Hal itu disampikan Panglima TNI dalam wawancaranya dengan Kantor Berita Rusia (RIA Novosti), di Jakarta, Rabu. Dalam wawancara tersebut Panglima TNI mengatakan saat mengunjungi Kepala Staf Angkatan Bersenjata Rusia pada 2006, ia telah menyampaikan keinginan untuk menjalin kerja sama militer yang lebih luas lagi. "Kita tidak ingin hanya membeli barang dan persenjataan dari Rusia, tapi juga bagaimana meningkatkan sumber daya manusia melalui pelatihan dan pendidikan di luar pendidikan teknis," katanya. Menurut dia, dalam waktu yang tidak lama lagi, kerja sama tersebut dapat direalisasikan. "Memang perlu perumusan lebih lanjut tentang macam dan jenis kegiatan yang akan dikerjasamakan dalam memformalisasikan bentuk dari pertukaran pendidikan dan pelatihan," ujarnya. Panglima TNI mengatakan yakin hubungan antara Indonesia dan Rusia ke depan akan menjadi lebih baik. Terlebih lagi dengan rencana kedatangan Presiden Rusia Vladimir Putin ke Indonesia pada Kamis (6/9). Djoko mengatakan kunjungan tersebut bermanfaat untuk mempererat hubungan antara kedua negara. "Kunjungan Presiden Putin ke Indonesia ini pasti akan membuat hubungan kedua negara menjadi semakin baik dalam segala aspek, termasuk dalam bidang pertahanan dan militer," katanya. Sebelumnya, pada akhir 1950 hingga awal 1960, hubungan Indonesia dan Rusia lebih dititik beratkan pada kerja sama bidang pertahanan dan militer, katanya. Pada masa itu, katanya, kerja sama tersebut bersifat sepihak, yaitu bantuan dari Rusia kepada Indonesia. Mulai akhir tahun 1950, katanya, Indonesia mendapat program bantuan yang sangat besar dari pemerintah Rusia yang pada waktu itu memang dibutuhkan oleh pemerintah. Namun, perubahan politik dan ada kejadian di dalam negeri pada tahun 1965, berpengaruh besar terhadap hubungan bilateral antara Indonesia dan Rusia. "Hubungan bilateral RI dan Rusia yang dilatarbelakangi masalah internal Indonesia tidak begitu mudah untuk segera dicairkan kembali. Sehingga pada waktu itu Indonesia lebih banyak berkiblat ke negara-negara Barat, tetapi masih berada pada koridor politik yang bebas aktif. Memang ada kecenderungan lebih condong ke Barat, tapi tidak lalu Indonesia cenderung berpaling ke satu blok," katanya. Setelah itu, kata Djoko, pada awal tahun 1990-an, Kongres Amerika memberikan sanksi kepada Indonesia dengan menjatuhkan embargo terhadap beberapa alutsista yang dibeli dari negara Barat. Sejak saat itu, sejak awal 1990, pemerintah Indonesia mencari peluang pengadaan alutsista dari negara lain, termasuk Rusia. "Dalam bidang ekonomi sebenarnya delegasi-delegasi kedua negara sudah jalan sejak awal 1970-an hingga 1980-an. Tapi dalam bidang pertahanan dan militer mulai tahun 1990-an menguat kembali keinginan untuk menjalin kerja sama dengan Rusia maupun negara-negara Eropa Timur lainnya. Pada 1996, katanya, delegasi TNI Angkatan Udara diberangkatkan ke Rusia untuk menjajaki pembelian pesawat tempur Sukhoi. "Akan tetapi untuk sekarang dan masa mendatang kerja sama militer dan pertahanan itu hanya merupakan salah satu dari sekian banyak peluang kerja sama yang bisa dijalin antara Rusia dan Indonesia," kata Djoko menambahkan. (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2007