Jakarta (ANTARA News) - Menteri Negara Riset dan Teknogi (Menristek) Kusmayanto Kadiman menegaskan pihaknya belum berminat pada pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) terapung buatan Rusia, dan lebih memilih menindaklanjuti secara teknis pembicaraan mengenai PLTN yang rencananya akan beroperasi di Indonesia pada 2016. Sewaktu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Rusia Vladimir Putin bertemu di Moskow tahun lalu, mereka telah membahas tentang rencana Indonesia untuk membangun stasiun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir, kata Kusmayanto yang diwawancarai kantor berita Rusia, RIA Novosti, menjelang kedatangan Presiden Rusia ke Jakarta, Kamis (6/9). Untuk sebuah negara kepulauan seperti Indonesia, menurut Menristek, memang selalu ada pilihan, membangun PLTN di darat atau terapung di laut. Namun Indonesia masih memiliki tanah yang luas, jadi mengapa tidak dibangun di darat saja, kecuali bila ada alasan-alasan lain yang bisa menghambatnya, ujarnya. "Contohnya di Pulau Jawa, kami membutuhkan tambahan tenaga listrik sebesar 6,000 megawatt. Dengan kebutuhan energi sebesar itu, tentunya PLTN terapung bukan merupakan pilihan yang tepat," katanya. Selain itu, masalah pembangunan PLTN bukan sekedar masalah teknologi, tetapi juga bagaimana pendapat masyarakat serta perlunya mendapatkan persetujuan internasional, ujarnya. "Jadi, mengapa kita harus memilih yang lebih kecil (pulau) untuk sebuah proyek percobaan? Terus terang saja, untuk 2016, kami memusatkan untuk sebuah rencana besar," katanya. Kedua Presiden, Putin dan Yudhoyono, disebutkannya, telah menyetujui prinsip kerja sama PLTN (darat) dan saat ini pihaknya tengah menelaah dari sudut teknologi dan nilai ekonomisnya, termasuk juga segi pengamanan dan kesalamatan. Menurut Menristek, di dunia ini hanya ada enam negara yang mampu membangun PLTN, dan salah satunya ialah Rusia, sementara Indonesia saat ini belum mampu untuk membangun PLTN dan membutuhkan alih teknologi di bidang itu. Sementara itu, Ketua United Nations Assosiation (UNA) Indonesia, sebuah LSM pendukung perjuangan pemanfaatan nuklir, Adjar Irawan, mengatakan beberapa ahli nuklir yang pro pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) terapung berharap Presiden Rusia Vladimir Putin dalam kunjungannya ke Indonesia, kembali membicarakan PLTN terapung dengan Presiden RI. "Ini berkaitan dengan penawaran Putin empat tahun lalu kepada Presiden Megawati," katanya di Jakarta, Rabu. Disebutkannya, kapal selam Rusia yang akan ditarik dari peredaran dapat digunakan untuk eksperimental pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) terapung di Gorontalo dengan harga beli listrik empat sen dollar AS per kW jam. Sistem persenjataan kapal selam nuklir tersebut akan dihilangkan. Rusia, ujarnya, akan membantu memudahkannya secara legal baik nasional maupun internasional. Rusia, ujarnya, menyediakan pembangkit listrik berdaya 35MWe itu sedangkan Indonesia menyediakan situs, prasarana listrik dan "co-network"-nya dengan PLN. PLTN Terapung yang mampu bertahan hingga 40 tahun itu, diisi bahan bakar setiap tiga tahun, sementara limbah nuklir akan dipulangkan ke Rusia. Ia mengakui, untuk kerjasama ini Indonesia perlu menyediakan dana sebesar 200 juta dollar AS dan masih perlu melakukan studi kelayakan (feasibility study) Amdal dan analisis keamanannya.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2007