Yangon (ANTARA News) - Biksu Budha di Myanmar pada tengah hari Kamis membebaskan lima dari 20 sanderanya di biara mereka dalam ketegangan dengan pemerintah tentara negara itu, kata penduduk. Kelima sandera itu dibebaskan sesudah ditahan sekitar lima jam di dalam kuil ajaran, kediaman sekitar 700 biksu di kota Pakokku, sekitar 500 kilometer utara Yangon, ibukota niaga negara tersebut, kata warga. Sekitar 15 orang, sebagian besar pejabat pemerintah dan keamanan setempat, masih disekap di dalam biara tersebut. Tentara hari Rabu melepaskan tembakan ke udara untuk membubarkan kerumunan sekitar 300 biksu, yang mengecam kenaikan tinggi harga bahan bakar. Sedikit-dikitnya, tiga biksu cedera akibat tentara memukul mereka dengan tongkat bambu, kata penduduk. Pejabat pemerntah dan keamanan setempat datang ke biara itu untuk minta maaf atas kekerasa tersebut, tapi para rahib itu membakar empat kendaraan mereka dan menyandera 20 orang, kata warga. Bentrok di biara itu merupakan yang paling parah dengan pemerintah sejak serangkaian langka unjukrasa menentang pemerintah meledak lebih dari dua pekan lalu. Media terbitan pembangkang Myanmar di pengasingan menyatakan tentara memukuli biarawan dengan tongkat bambu dan memukuli ribuan orang, yang berkumpul untuk menyaksikan unjukrasa itu. Setidak-tidaknya, 10 biarawan muda ditahan, kata "Suara Demokratik Burma", kantor berita kelolaan pembangkang di pengasingan. "Mereka baru saja berjalan dalam kelompok empat atau lima biarawan melalui jalan, yang biasa mereka gunakan ketika mengumpulkan derma," kata saksi kepada kantor berita itu. "Mereka meneriakkan `metta` dan menginginkan semua orang bebas dari penindasan orang lain," kata saksi mengacu pada ajaran berbuat baik Budha. Menurut Amnesti Internasional, lebih dari 150 orang ditahan di Myanmar sejak 19 Agustus, ketika pegiat mulai berunjukrasa terhadap kenaikan harga bahan bakar minyak, yang membuat sejumlah masyarakat tidak mampu membayar ongkos angkutan. Tindakan keras penguasa terhadap pembangkang itu memicu kemarahan antarbangsa. Ibrahim Gambari, utusan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk membantu rujuk bangsa di Myanmar hari Rabu memperingatkan bahwa tindakan penguasa itu akan "lebih menyulitkan dalam mempertahankan dukungan antarangsa pada Myanmar". Sekitar 1.000 orang hari Selasa berpawai di Myanmar baratlaut menuntut pembebasan dua orang, yang ditahan akibat berunjukrasa menentang kenaikan mendadak harga bahan bakar, kata penduduk dan pengunjukrasa. Pawai di kota pantai Taunggok itu, 400 kilometer barat laut Yangon, merupakan yang terbesar dalam serangkaian unjukrasa langka dalam dua pekan terahir di negara semula bernama Burma tersebut. Pawai itu dimulai oleh 15 anggota lawan Liga Bangsa untuk Demokrasi (NLD) menuju kantor pemerintah setempat untuk menuntut pembebasan Se Thu dan Than Lwin, kata penduduk Taunggok kepada kantor berita Inggris Reuters lewat telepon. Se Thu dan Than Lwin, keduanya berumur 20-an tahun, diciduk 31 Agustus sesudah berjalan melintas kota itu satu jam melambaikan plakat mengecam penguasa dan keputusan mengejutkannya menggandakan harga disel dan menaikkan harga gas lima kali lipat bulan lalu. Sejak unjukrasa itu meletus, penumpang bus di jalan raya diminta turun di setiap pos pemeriksaan, memperlihattan kartu pengenal dan mengikuti pemeriksaan serta penggeledahan oleh polisi bersenjata, demikian laporan AFP. (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2007