Baghdad (ANTARA News) - Lebih dari 14.000 pegawai Kementerian Dalam Negeri Irak dipecat karena tidak menghormati hak-hak asasi manusia, kata pemerintah, Minggu, menolak laporan sebuah panel AS yang menuduh polisi bertindak sektarian. "Laporan Jones tidak lengkap dan tidak memberikan gambaran nyata di Irak," kata jurubicara pemerintah Ali al-Dabbagh, menunjuk pada penilaian komisi independen yang dipimpin Jendral James Jones, mantan panglima tinggi AS di Eropa. Panel itu memberikan rekomendasi agar pasukan Polisi Nasional Irak, yang dianggap kalangan luas Irak didominasi orang Syiah, dibubarkan dan diorganisasi ulang karena mereka telah bertindak sektarian di dalam unit-unitnya yang membuat mereka menjadi tidak efektif. Komisi itu juga mengatakan, korupsi dan sektarianisme terjadi di Kementerian Dalam Negeri Irak, yang membawahi kepolisian. Militer AS di Irak telah menyatakan, mereka akan mengkaji laporan itu dan melihat pembenahan apa yang bisa dilakukan terhadap program pelatihan kepolisian, namun mereka tidak bisa menyetujui pembentukan ulang pasukan itu dari awal. Dabbagh membela hasil kerja pasukan keamanan Irak dan mengatakan, upaya-upaya serius sedang dilakukan untuk membersihkan kepolisian, yang telah lama dituduh berkomplot dalam kekerasan sektarian terhadap minoritas Arab Sunni. "Sampai kemarin lebih dari 14.000 anggota Kementerian Dalam Negeri dipecat dari jabatan mereka karena mereka tidak menghormati hak asasi manusia atau karena mereka diyakini terkait dengan kelompok-kelompok bersenjata dan milisi," katanya pada jumpa pers dalam pernyataan yang diterjemahkan. Seluruh sembilan komandan brigade kepolisian nasional dan 17 dari 24 komandan batalyon telah dipecat dan diganti, kata sejumlah pejabat AS dan Irak sebelumnya. Laporan Jones itu juga mengatakan, militer Irak tidak akan bisa beroperasi secara independen dalam waktu 12 hingga 18 bulan mendatang. Dabbagh menolak berkomentar langsung mengenai kerangka waktu itu namun mengakui bahwa pasukan keamanan Irak masih memerlukan bantuan militer AS, demikian laporan Reuters. (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2007