Sydney (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia sedang merencanakan untuk melakukan "Debt to The Nature Swap" atau konversi (pengalihan) utang luar negeri untuk proyek-proyek lingkungan. "Saya tidak ingin mendahului, tetapi Insya Allah akan ada `Debt to The Nature Swap`," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam jumpa pers di Sydney, Australia, Senin, usai mengikuti rangkaian KTT APEC yang berakhir pada Minggu (9/9). Menurut Presiden, dirinya tidak senang kalau Indonesia "ngemplang" atau tidak membayar utang luar negeri. "Kita sebagai bangsa tidak terhormat, nanti ada catatan sejarah bahwa pada tenggang waktu tertentu Indonesia minta dibebaskan utangnya atau ngemplang, itu `ndak terhormat, karena kita pun bisa tanpa itu," katanya. Karena itu, lanjutnya, yang ditempuh adalah "Debt to The Nature Swap" sebagai bagian dari kerja sama konkret untuk menindaklanjuti langkah-langkah mengatasi perubahan iklim. "Sekarang sudah ada tanda-tanda, bahkan dengan AS sudah ada negosiasi. Yang penting jangan salah pahami isu lingkungan hidup ini," katanya, sambil menambahkan dalam upaya mengatasi masalah lingkungan, pemerintah akan melakukan langkah konkret baik bilateral maupun multilateral. Selain itu, langkah konkret paska Deklarasi APEC tentang Perubahan Iklim adalah melakukan program nasional yang dikoordinasikan Menneg LH Rachmnat Witoelar dan Menhut MS Ka`ban serta menteri terkait lainnya. Berbagai kerja sama pengelolaan hutan dengan negara lain juga akan dilakukan. "Kemarin (9/9) ada kerja sama dengan Australia di hutan Kalimantan. Nanti hal yang sama juga akan dilakukan dengan Norwegia dan Korsel," kata Presiden. "Langkah yang lebih konkret lagi adalah Konferensi di Bali (pada Desember 2007, red), yang harus terwujud. Sekarang dengan adanya `economic of climate change`, maka masalah kompensasi karbon dan kredit karbon harus pula kita lakukan," tambahnya. Sedangkan terkait Konferensi PBB di Bali, Desember mendatang, Presiden Yudhoyono meminta untuk tidak diarahkan menjadi dikotomi antara negara yang pro kesepakatan Kyoto Protokol dan anti Kyoto Protokol. "Jangan habis waktu kita, baik di New York (rencana pertemuan lingkungan Oktober) maupun di Bali untuk membikin garis konfrontasi, mana yang pro Kyoto Protokol dan yang anti," katanya. Menurut Kepala Negara, kesepakatan Kyoto Protokol hendaknya bisa berlanjut dengan disesuaikan pada program yang lebih realitsik dan bisa dilaksanakan semua negara. Nampak hadir dalam konferensi pers tersebut, Menlu Hassan Wirajuda, Mensesneg Hatta Radjasa, Mendag Mari E Pangestu, Menpora Adyaksa Dault, Menneg LH Rachmat Witoelar, anggota Wantimpres Emil Salim, serta Dubes RI untuk Australia Hamzah Thayeb. (*)

Pewarta: muhaj
COPYRIGHT © ANTARA 2007