Jakarta (ANTARA News) - Hingga 17 September 2007, pemerintah telah menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) senilai Rp792,943 triliun, terdiri atas surat utang yang diperdagangkan Rp467,311 triliun dan surat utang yang tidak diperdagangkan Rp259,979, serta obligasi internasional Rp65,653 triliun (kurs Rp9.379 per dolar AS). "Ini sudah lebih tinggi dari pinjaman luar negeri, yang sekitar Rp600 triliun. Itu Rp600 triliun kita buat dalam 30 tahun lebih, sedangkan Rp792,943 triliun ini kita buat hanya dalam 7 tahun," kata Dirjen Pengelolaan Utang Depkeu, Rahmat Waluyanto, di Jakarta, Selasa. Angka itu, jelasnya, meningkat sekitar tujuh persen dari posisi Desember 2006 yang mencapai Rp742,728 triliun. "SUN meningkat karena kita membiayai defisit yang semakin meningkat. Dari 0,9 persen pada 2006, menjadi 1,5 persen pada APBNP 2007, kemudian 2008 diperkirakan 1,7 persen. Kebijakan pemerintah selama ini adalah kita bergantung pada surat berharga negara. Sudah tiga tahun terakhir kita kurangi secara gradual jumlah pinjaman luar negeri," katanya Surat utang yang diperdagangkan terdiri atas SUN tanpa kupon Rp10,169 triliun, dan obligasi negara dalam negeri (dengan kupon) Rp457,142 triliun. Obligasi dengan kupon pun dibagi atas surat utang dengan bunga tetap (fixed rate) Rp282,471 triliun dan bunga mengambang (variable rate) Rp174,671 triliun. Sedangkan surat utang yang tidak diperdagangkan adalah surat utang yang diterbitkan kepada BI senilai Rp259,979 triliun. Menurutnya, perubahan seri terbesar terjadi pada seri FR yang naik Rp43,91 triliun dari posisi Desember 2006, sedangkan seri VR turun Rp5,52 triliun dari akhir 2006 sehingga rasio FR dan VR berubah dari 57 persen berbanding 43 persen menjadi 62 persen berbanding 38 persen. "Kenaikan FR terutama disebabkan penerbitan obligasi negara yang lebih banyak seri FR, sedangkan VR banyak yang jatuh tempo, serta dampak dari `debt switching`," katanya. Dalam kesempatan itu, Rahmat juga menyatakan pihaknya berhasil memperbaiki manajemen sehingga menurunkan resiko jatuh tempo SUN dari sekitar Rp60 triliun per tahun menjadi kurang dari Rp30 triliun per tahun hingga 2037. "Kita akan melakukan `debt switching` secara reguler. Kita tukar obligasi yang jatuh tempo hingga 2012 dengan obligasi yang jatuh temponya lebih panjang. Artinya kemampuan pemerintah seiring dengan peningkatan PDB secara signifikan, jumlah utang sebesar ini pasti bisa dibayar. Jadi tidak ada resiko pembiayaan," katanya. Terkait dengan kepemilikan SUN oleh asing, Rahmat menyatakan pihaknya mencatat adanya kenaikan signifikan dari posisi Desember 2006 senilai Rp54,92 triliun menjadi Rp83,48 triliun pada Mei 2007, dan menjadi Rp73,51 triliun pada 14 September 2007. "Memang terjadi penurunan posisi kepemilikan asing pada pekan kedua September menurun tipis dibanding pekan pertama September 2007, namun itu dipengaruhi sikap hati-hati investor untuk berinvestasi di aset-aset beresiko mengantisipasi keputusan FOMC (bank sentral AS) hari ini," katanya. Hal yang menggembirakan, katanya, adalah besarnya kepemilikan asing untuk SUN yang memiliki jatuh tempo di atas 5 tahun, yaitu 44,3 persen pada pekan pertama 2007 dan 44,5 persen pada pekan kedua 2007. "Ini artinya mereka masih percaya dengan kinerja ekonomi kita dalam jangka panjang," katanya. Sebagai perbandingan , posisi kepemilikan surat utang negara pada 14 September 2007, perbankan 57,92 persen (Rp270,68 triliun), Bank Indonesia 3,10 persen (Rp14,47 triliun), dan non bank 38,98 persen (Rp182,18 triliun). Untuk kepemilikan oleh non bank, asing bertengger pada posisi teratas dengan 15,73 persen (Rp73,51 triliun), asuransi 8,75 persen (Rp40,90 triliun), dana pensiun 5,27 persen (Rp24,63 triliun), reksadana 4,78 persen (Rp22,34 triliun), sekuritas 0,18 persen (Rp830 miliar) dan lain-lain 4,27 persen (Rp19,97 triliun).(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2007