Setiap orang yang berkendara di Provinsi Riau dari Kota Pekanbaru menuju Kota Dumai pasti pernah melalui jalan raya ini. Beberapa bagian ada yang berkelok-kelok, kemudian tiba-tiba ada tanjakan dan turunan, yang kadang membuat kita kesal sambil bergumam dalam hati kenapa sih jalannya tidak dibuat lurus saja.

Namun, tidak banyak orang masa kini yang tahu bahwa jalan itu pernah punya sebutan sebagai "jalan minyak". Istilah itu muncul jauh sebelum fasilitas tersebut menjadi urat nadi infrastruktur yang penting bagi masyarakat di Riau, dan juga Sumatera. Moeslim Roesli dalam buku "Nekat Membawa Rahmat, Memoar Seorang Praktisi Humas" (2005), pernah mengulas tentang pengalamannya melintasi "jalan minyak".

Penulis Moeslim Roesli adalah salah satu tokoh pers di Riau, menjabat Kepala Perwakilan LKBN Antara Pekanbaru (1963-1968) dan juga praktisi kehumasan di perusahaan perminyakan PT Caltex Pacific Indonesia.

Ia mengisahkan pada Juli 1964 membawa rombongan 40 perwira Siswa Sekolah Staf dan Komando TNI AU kunjungan ke instalasi pertambangan minyak Caltex di Riau. Perjalanan menggunakan dua kendaraan yang disebutnya sebagai bis besar "hidung pesek" buatan Inggris.

Perjalanan rombongan itu melalui jalan operasi minyak Caltex Rumbai-Dumai sepanjang 186 kilometer via Minas dan Duri, terbuat dari tanah liat yang digaru dan digilas alat berat jenis grader, dan kemudian dikeraskan dengan semprotan minyak mentah sebagai pengganti aspal.

Waktu hujan licinnya minta ampun. Ban mobil terpaksa dirajut dengan rantai besi sebagai perangkat antiselip agar mencengkram ke permukaan jalan. Sepanjang perjalanan belum ada satupun pemukiman penduduk atau warung-warung, kecuali di Minas, Kandis dan Duri, tulis Moeslim di halaman 5 bukunya.

Cerita lebih lengkap diungkapkan oleh Iwan Syawal, pemerhati sejarah dan praktisi kepariwisataan Riau. Dalam wawancara dengan Antara di Pekanbaru pada 9 Januari 2018, ia menjelaskan bahwa Caltex mulai membuka akses transportasi dari daerah administrasi mereka di Rumbai (Pekanbaru) ke area eksplorasi minyak di Minas, Duri hingga Dumai sekitar tahun 1953. Ruas jalan yang kini dinamakan Jalan Yos Sudarso, yang menghubungkan Jembatan Siak I ke Rumbai, juga bagian dari "jalan minyak".

Saat itu Riau masih hutan dengan topografi berupa rawa gambut yang lembek. Supaya permukaannya tidak anjlok, maka dibuka jalan dengan cara kayu-kayu bulat (log) diletakan melintang di badan jalan. Kemudian meterial itu ditimbun dengan tanah uruk dan disiram dengan sludge atau residu minyak tidak terpakai. Dan dalam perawatannya, lapisan minyak lama dikerok dulu kemudian disiram dengan yang baru.

Cara penyiraman ampas minyak itu rupanya berhasil memperkuat konstruksi jalan sehingga bisa dilintasi truk-truk tonase besar, termasuk untuk membawa minyak mentah Caltex, yang saat itu masih menggunakan truk tangki. Pada masa itu, penyiraman minyak ke permukaan tanah belum dianggap sebagai pencemaran lingkungan.

"Jadi 'jalan minyak' itu sebutan untuk jalan yang disiram dengan residu minyak, katanya.

Ia mengatakan Caltex sepertinya tidak mendesain jalan tersebut untuk penggunaan jangka panjang, sehingga dipilihlah metode penyiraman minyak karena lebih murah ketimbang aspal hotmix. Karena itu, jangan heran apabila jalan peninggalan Caltex itu saat ini mudah rusak dan bergelombang karena bisa saja pondasinya sudah lapuk dimakan usia.

Iwan mengaku menjadi saksi hidup bagaimana rasanya melintasi jalan minyak. Ada sebuah daerah dinamakan gelombang yang lokasinya di sekitar Kandis, berupa tanjakan sangat curam. Untuk melewatinya, mayoritas kendaraan terpaksa berjalan mundur. "Menanjak di 'gelombang' susah banget. Ada yang 'ngakalin' karena diferensial mobil itu lebih kencang di perseneling mundurnya, jadi mobil dibalik. Jadi mobilnya naiknya mundur. Kebetulan aku ngalamin waktu kecil naik mobil tangki, ya, seperti itu," katanya.

Rata-rata para pengemudi di masa itu sudah hafal di luar kepala lika-liku rute "jalan minyak" sehingga meski dalam kondisi hujan, waktu tempuh dari Pekanbaru-Dumai hanya berkisar 4-4,5 jam. Tentu saja hal itu juga karena arus lalu lintas masih sepi, dan mobil yang digunakan saat itu tipe mesin berdaya besar, seperti pabrikan Chevrolet dan Holden Kingswood.

"Karena sopirnya sudah hapal rute kapan harus ke kanan, ke kiri dan tanjakan dimana, mereka tak pernah pelan, justru kalau pelan malah mobil terpelintir, jadi harus gas terus," katanya.

Caltex menggunakan jalan itu khusus untuk operasionalnya, dan baru pada sekitar 1960-an fasilitas itu bisa digunakan bersama oleh masyarakat umum. Ketika mulai digunakan bersama dan akhirnya jadi berstatus jalan nasional, rute jalan Pekanbaru-Dumai tersebut dipangkas sekitar 24 kilometer di bagian yang curam. Perusahaan Amerika Serikat itu kemudian membuat jalan baru, yang khusus untuk operasional perusahaan dan masih digunakan sampai sekarang oleh PT Chevron Pacific Indonesia.

Jalan minyak itu baru diaspal pada dekade 1980-an. "Kecelakaan justru banyak muncul saat jalan sudah diaspal," kata Iwan. 

Seiring waktu, Jalan Pekanbaru-Dumai tidak hanya penting untuk transportasi orang, melainkan juga untuk distribusi bahan pangan dan hasil perkebunan. Namun, jalan tersebut makin ramai dan kerap terjadi kemacetan lalu lintas sehingga butuh waktu sekitar lima jam untuk berkendara dari Pekanbaru ke Dumai.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo ingin memangkas waktu tempuh tersebut dengan membangun Jalan Tol Pekanbaru-Dumai sepanjang 131 kilometer. Pembangunan itu merupakan bagian dari proyek strategis nasional Jalan Tol TransSumatera. Pada 2017 Presiden Jokowi pernah meninjau lokasi pembangunan jalan tol itu, dan menargetkan pembangunan selesai pada 2019.

Namun, pengerjaannya tidak mudah karena kendala pembebasan lahan. Hingga Desember 2018, proses pembebasan lahan sudah mencapai sekitar 77,1 persen, sedangkan capaian konstruksi pembangunan baru 35,4 persen.*


 

Pewarta: Febrianto Budi Anggoro
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
COPYRIGHT © ANTARA 2019