Jakarta (ANTARA News) - Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Prof Dr Meutia Hatta mengemukakan bahwa Indonesia dinilai memiliki kemajuan dalam menjalankan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms Discrimination Against Women-Cedaw) meskipun ada beberapa bidang yang juga direkomendasikan untuk ditindak lanjuti. Apresiasi atas kemajuan yang dicapai Indonesia itu diberikan dalam sidang komite ke 39 Cedaw di New York, Juli-Agustus 2007, yaitu ditandai dengan terbitnya sejumlah peraturan undang-undang dan kebijakan terkait masalah Cedaw, kata Meutia Hatta di Jakarta, Rabu, dalam jumpa pers sosialisasi sidang komite Cedaw tersebut. Namun, juga terdapat 30 komentar dan rekomendasi atas bidang-bidang tertentu misalnya termasuk permintaan untuk merevisi undang-undang no 1/1974 tentang pernikahan dan masih kentalnya budaya patriarki dan stereotipe mengenai peran dan tanggungjawab laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat dan keluarga yang menghambat kemajuan perempuan. "UU perkawinan memang sudah lama diminta untuk direvisi, KPP dan organisasi perempuan juga banyak yang mengusulkan perubahan UU no 1/1974 itu karena banyak pasal-pasalnya yang bias gender dan tidak sesuai dengan keadaan sekarang," kata Meutia. Ia mengambil contoh mengenai batas usia termuda seseorang untuk dapat menikah, dalam UU perkawinan itu mempelai perempuan dapat menikah apabila berusia 16 tahun, sementara dalam UU perlindungan anak, kategori anak adalah mereka yang berusia sampai dengan 18 tahun. "Sehingga definisi usia anak tidak cocok lagi untuk menetapkan batas usia minimal 16 tahun untuk dapat menikah," tutur Meutia. Pada pasal-pasal tertentu dalam undang-undang perkawinan itu menurut Meutia juga masih banyak kecenderungan berat ke pihak laki-laki. Sidang Komite Cedaw juga menilai bahwa konvensi Cedaw belum sepenuhnya diintegrasikan ke dalam perundang-undangan di Indonesia, penegak hukum belum memahaminya sehingga direkomendasikan ada pelatihan bagi para penegak hukum dan agar dapat diintegrasikan dalam peraturan perundangan. Komite juga menyampaikan prihatin tentang ketentuan perlunya izin dari suami bagi perempuan yang bekerja di malam hari, sterilisasi dan aborsi walaupun nyawanya sudah terancam. Masalah sunat terhadap perempuan juga menjadi perhatian dan komite mendesak agar Indonesia mengeluarkan peraturan larangan sunat perempuan. "Masalah sunat pada perempuan terjadi di sebagian masyarakat, yang salah memahami dan mengartikan agama. Ini bukan agama karena dalam agama Islam kewajiban sunat hanya ditetapkan bagi laki-laki. Sunat terhadap perempuan itu melanggar hak-hak perempuan, apalagi dilakukan di luar kehendak perempuan itu sendiri," tegas Meutia. Bidang-bidang lain yang menjadi perhatian dan menimbulkan keprihatinan adalah masalah pekerja migran, partisipasi perempuan di bidang akademi di bidang "non akademis" yang masih rendah, angka kematian ibu dan pendidikan Keluarga Berencana, undang-undang kewarganegaraan, akses perempuan pada pendidikan dan layanan kesehatan.(*)

Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2007