Jakarta (ANTARA News) - Direktur Eksekutif Institut for Public Studies (IPS), DR Fadli Zon, mengatakan bahwa upaya pembelokan sejarah Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) semakin gencar dengan munculnya beragam versi dari peristiwa itu yang berpotensi membingungkan masyarakat luas. "Upaya mengubah sejarah G30S/PKI dengan memposisikan PKI sebagai korban dan bukannya pelaku atau dalang kini terus berlanjut dan semakin intensif," katanya dalam dialog publik "Refleksi Atas Tragedi G30S/PKI" di Kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Jakarta, Senin. Menurut Fadli, upaya pembelokan yang antara lain dengan memunculkan banyak versi atas pemberontakan PKI tersebut akan membingungkan masyarakat, terutama para generasi muda. Ia memaparkan, kini terdapat lebih dari lima versi yang mengemukakan bahwa pelaku dari peristiwa itu bukan hanya PKI, tetapi ada versi yang menyebutkan dalangnya antara lain Agen Pusat Intelijen Amerika Serikat (CIA) dan agen rahasia Inggris (MI6). "Berbagai analisis itu, ternyata dapat menyusup ke dalam kurikulum sejarah tahun 2004," kata Fadli Zon. Akibatnya, ujar dia, timbul kejadian seperti munculnya buku pelajaran sejarah yang tidak mencantumkan PKI sebagai pelaku dari gerakan pemberontakan pada tanggal 30 September 1965 itu. Fadli mengungkapkan, modus dari upaya pihak-pihak yang ingin menghapus jejak sejarah itu dilakukan dengan menimbulkan keraguan di tengah masyarakat terhadap siapa yang sebenarnya melakukan gerakan pemberontakan pada tahun 1965 itu. "Peperangan informasi ini dari sisi wacana kini hampir dimenangkan oleh mereka karena sekarang telah timbul berbagai keraguan di dalam masyarakat," katanya. Fadli mengingatkan, adalah watak dasar dari komunis untuk mengkudeta dan membentuk suatu kediktatoran proletariat. Berdasarkan catatan sejarah, ujar Fadli, partai berhaluan komunis juga telah tiga kali melakukan pemberontakan di tanah air, yaitu di masa kemerdekaan pada tahun 1948 dan 1965, serta pada masa prakemerdekaan pada tahun 1926. "Meski pemberontakan tahun 1926 dilakukan terhadap pemerintahan kolonial Belanda, tetapi hal itu juga merugikan perjuangan nasional yang masih belum siap dan akibatnya menimbulkan tragedi Digul," katanya. Mengenai gagasan untuk menampilkan banyak versi mengenai G30S/PKI dalam kurikulum, Fadli menolaknya, karena hal tersebut berpotensi menimbulkan konflik horizontal di antara sesama bangsa Indonesia. (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2007