Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah tengah menyiapkan Peraturan Presiden (Perpres) yang akan mengatur, mengendalikan, dan mengawasi harga obat di pasaran. "Seminggu sampai dua minggu ini, Perpres ini akan keluar. Sekarang ini sudah di Presiden, tinggal ditanda tangan," kata Menteri Kesehatan, Siti Fadillah Supari di Jakarta, Selasa. Pemerintah mengharapkan ada kestabilan harga obat sehingga harus dikendalikan karena obat merupakan kebutuhan yang sangat mendasar bagi rakyat. Saat ini harga obat semakin tidak terjangkau masyarakat miskin antara lain karena adanya kartel dalam industri obat sehingga rantai kartel ini harus diputuskan. "Untuk menembus kartel ini, harus ada aturan. Nah, selama tidak ada aturan itu, ketika pemerintah dinakali, ya cuma bengong saja. Tapi, nanti kalau ada Perpres, Insya Allah tidak lagi," kata Siti Fadilah. Ia mengakui, harga obat di Indonesia terlalu mahal jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Mahalnya harga obat ini karena produksi dan distribusi dikuasai oleh beberapa produsen saja sehingga mereka bebas menentukan harga. "Kalau sekarang saya tentukan obat sendiri, mereka nggak mau produksi. Harga obat generik yang harganya murah, semua kosong. Makanya, nanti kita tidak hanya beri sanksi, tapi saya bisa mendatangkan obat lebih murah dengan impor karena kalau saya impor, harganya jauh lebih murah," jelasnya. Menurut dia, Perpres juga akan mengatur kewenangan Menkes mengenai keberadaan, pendistribusian serta harga obat di Indonesia. Harga obat diberikan batas atas dan batas bawahnya. "Industri farmasi di Indonesia saat ini cukup besar, mencapai Rp30 triliun per tahun. Makanya, harus diatur," katanya. Sementara Menkeu Sri Mulyani Indrawati menyoroti bahwa kartel industri obat di Indonesia tidak lepas dari peran para dokter. "Industri pabrik obat ini membentuk suatu kartel, dan dokter adalah bagian dari kartel itu," ujarnya. Dalam kesempatan yang sama Menkes meminta Menkeu untuk segera mencairkan anggaran Asuransi Kesehatan Keluarga Miskin (Askeskin). Dari dana Askeskin Rp1,7 triliun, baru dicairkan dana tahap awal pencairan sebesar Rp400 miliar. Sedangkan sisanya belum dicairkan oleh Depkeu. "Sekarang ini, rumah sakit megap-megap. RSCM yang tagihannya Rp15 miliar, baru dibayar Rp3 miliar. RS Hasan Sadikin tagihannya Rp37 miliar, baru dibayar Rp37 juta," katanya. Ia mengharapkan Depkeu langsung menyalurkan dana Askeskin ke rumah sakit tanpa melalui Askeskin agar proses penyaluran berlangsung cepat. "Tapi kan Menkeu sudah jelaskan tidak ada mekanisme itu," ujarnya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2007