Jakarta (ANTARA News) - Pengamat sosial media Muchlis Ahmady menyebut penyebarluasan ujaran kebencian dan kabar bohong atau hoaks merupakan bentuk penjajahan gaya baru.

"Kalau dahulu penguasaan ekonomi suatu negara terhadap negara lain melalui kolonisasi, kemudian muncul developmentalisme. Setelah ia tidak populer lagi untuk dijual, muncullah globalisasi," kata Muchlis di Jakarta, Jumat.

Instrumen yang digunakan untuk hal itu di antaranya ujaran kebencian dan hoaks.

Tujuan akhir dan esensinya, kata Muchlis, sama yakni penguasaan aset dan penjajahan gaya baru melalui ekonomi.

"Aktornya bermacam-macam mulai dari state actor, nonstate actor dan state sponsor actor," kata Sekolah Bisnis IPB itu.

Penyebarluasan ujaran kebencian dan kabar bohong banyak digunakan dalam penjajahan gaya baru di samping menggunakan instrumen narkoba dan "human trafficking".

Menurut Muchlis, seiring berjalannya waktu, spektrum ancaman terhadap suatu negara semakin kompleks.

Ia menambahkan, ancaman tidak hanya bersifat tradisional saja akan tetapi lebih banyak bersifat nontradisional dan seringkali tidak terlihat, salah satunya adalah perang proksi.

"Biasanya kepentingan merupakan faktor utama yang menyebabkan suatu negara menjadi korban dari perang proksi," katanya.

Ia berpendapat, besarnya penetrasi internet dan media sosial dalam kehidupan sosial masyarakat suatu negara akan berdampak secara positif sekaligus negatif. 

"Secara positif dapat dikembangkannya perekonomian berbasis teknologi komunikasi, sedangkan sisi negatifnya maka media sosial dapat dipakai untuk menyebarkan pesan-pesan provokatif dan ukaran kebencian serta hoaks yang dapat memecah belah suatu bangsa," katanya.

Menurut dia, perpecahan inilah yang akan berkembang menjadi perang proksi baik disadari atau tidak.

Ia menambahkan kelompok radikal melalui media sosial akan mengambil peranan yang sangat besar dalam memberikan informasi kepada publik khususnya kaum muda. 

Oleh karena itu, media sosial memegang peran penting dalam memberikan informasi ke publik terhadap isu-isu radikalisme.

"Melalui media sosial itulah masyarakat dengan mudah terprovokasi dan dengan membangun sebuah situs khusus yang digunakan sebagai media untuk melakukan koordinasi semua kegiatan yang terkait dalam pelaksanaan radikalisme," katanya.

Baca juga: Kemendagri: Masyarakat perlu kemampuan klasifikasi berita hoaks

Baca juga: Ulama serukan masyarakat tidak terpecah belah karena hoaks

Baca juga: Jokowi sebut sangat bagus saat Muslimat NU deklarasi anti hoaks

 

Pewarta: Hanni Sofia
Editor: Junaydi Suswanto
COPYRIGHT © ANTARA 2019