Jakarta (ANTARA News) - Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda menolak berspekulasi mengenai rencana penandatanganan Piagam ASEAN di Singapura November mendatang terkait dengan memburuknya situasi di Myanmar beberapa waktu terakhir. "Kita amati piagamnya dahulu, dengan kata lain saya tidak ingin berspekulasi masalah penandatanganan. Kita amati apa yang akan terjadi antara sekarang sampai menjelang 19-21 November nanti," kata Hassan ketika ditemui di sela-sela rapat kerja dengan Komisi I DPR di Jakarta, Senin mengenai permintaan sejumlah anggota Komisi I agar Indonesia menolak menandatangani Piagam ASEAN. Menlu menjelaskan bahwa sesungguhnya rencana pertemuan para kepala negara Perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) di Singapura November mendatang merupakan KTT ASEAN yang telah terjadwal setiap tahun dimana penandatanganan Piagam ASEAN hanya salah satu bagian dari acara di KTT ke-13 ASEAN itu. Terkait desakan dari anggota Komisi I DPR agar pemerintah RI menolak menandatangani Piagam ASEAN, Menlu mengatakan bahwa rancangan Piagam ASEAN pun belum selesai dibahas. Pada kesempatan sebelumnya Menlu mengatakan bahwa satu-satunya masalah yang belum dapat diselesaikan terkait dengan Piagam ASEAN adalah penghalusan bahasa dengan kaca mata hukum untuk poin-poin yang terkandung dalam Piagam ASEAN. "Rancangan yang sekarang masih perlu diperhalus dalam segi bahasa dari kacamata hukumnya, karena ini kan dokumen konstitusi. Tapi itu pekerjaan para pejabat senior," ujarnya. Mengenai Badan Hak Asasi Manusia yang pembentukannya sudah disepakati oleh ASEAN secara konsensus, Menlu menyiratkan pertemuan pekan lalu di New York belum menyepakati soal ketentuan-ketentuan menyangkut Badan HAM. Ia mengatakan Badan HAM tidak akan menjadi prasyarat pengesahan Piagam ASEAN. Piagam ASEAN diperkirakan sudah dapat ditandatangani oleh para pemimpin ASEAN dalam KTT ASEAN pada November mendatang di Singapura. Dengan piagam itu, ASEAN akan menjadi organisasi yang memiliki aturan dengan kepatuhan yang lebih ketat. Kendati demikian, Piagam ASEAN diperkirakan tidak akan mengatur masalah sanksi, walaupun tidak berarti bahwa negara yang tidak patuh terhadap aturan akan bebas begitu saja. "Kita tidak bicara spesifik tentang sanksi, itu lebih bagian dari proses pengambilan keputusan," kata Hassan. "Ada banyak cara untuk menjatuhkan sanksi tanpa mengatakan `sanksi`. Ketidakpatuhan pasti harus ada konsekuensinya. Dalam hal tertentu, yang lebih sensitif adalah proses pengambilan keputusan, tetap didasarkan pada konsensus," tambahnya. Sementara itu mengenai peran ASEAN dalam kasus Myanmar, Menlu mengakui bahwa upaya ASEAN untuk mendorong Myanmar menuju demokrasi selama 10 tahun terakhir memang belum memberikan perubahan yang berarti. "Namun, perlu diingat bahwa mekanisme sanksi yang diterapkan barat juga tidak berhasil. Hal ini membuat baik ASEAN maupun barat lebih rendah hati dalam mencari cara yang dapat digunakan untuk mendorong Myanmar," kata Hassan dan menambahkan bahwa hingga kini belum ditemukan suatu cara yang cukup efektif. Walaupun begitu, lanjut Menlu, Pemerintah RI menilai tidak bijak jika dunia hanya mengecam tanpa memberikan suatu solusi tertentu bagi Myanmar untuk menyelesaikan masalahnya. "Saya kira kecaman pada satu titik perlu tapi yang lebih penting adalah apa lagi yang bisa kita lakukan," tegasnya.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2007