London (ANTARA News) - Sebelum waktu berbuka puasa, Masjid Agung London atau yang dikenal dengan Central Mosque, yang terletak tidak jauh dari Regent Park, telah dipadati kaum Muslimin dan Muslimah. Bagi Muslimah atau perempuan Muslim, hari itu (Rabu, 9/10) atau malam ke-27 Ramadhan, merupakan kesempatan mereka untuk i`tikaf atau menghabiskan malam di dalam masjid. "Kita cuma bisa i`tikaf pada malam ke-27 saja," ujar Nyimas Halima Hassan, jamaah sesama warga Indonesia yang datang ke masjid itu bersama penulis ketika menginjak halaman masjid yang dibangun pada 1994 dan diresmikan Raja Inggris George VII sebagai hadiah dari Pemerintah Inggris kepada kaum Muslimin di negeri itu. Di tangga menuju ruang shalat setiap jamaah disuguhi susu dan kurma. Masing-masing orang hanya diizinkan mengambil tiga buah kurma dan segelas susu. Lantai atas mesjid yang diperuntukkan khusus untuk wanita telah dipenuhi jemaah yang akan melaksanakan buka puasa bersama dan shalat tarawih. Seorang wanita muda keturunan Afrika menawarkan minuman air mineral, dan wanita turunan Pakistan yang duduk di sebelah penulis memberikan beberapa butir kurma, dan dari belakang seorang wanita Arab menawarkan kue. Tidak beberapa lama kemudian, tepat 06.20 menit sore waktu setempat, terdengar suara azan berkumandang dari menara masjid. Masing-masing jamaah langsung menikmati buah kurma dan segelas susu putih dingin serta membuka bekal masing-masing. Penulis menawarkan pisang tanduk yang saya potong kecil-kecil dan digoreng dengan tepung kepada wanita Pakistan yang berada di sebelah kanan. Sepuluh menit kemudian, terdengar panggilan untuk segera bershalat dari ruangan utama. Saya pun pun siap mengenakan mukena. Tapi wanita Muslim di Inggris tidak mengenal mukena yang umumnya digunakan wanita Indonesia. Umumnya mereka mengenakan abaya, baju berwarna hitam panjang ataupun dengan warna lain dilengkapi jilbab. Usai shalat maghrib dan diikuti dengan shalat sunah, Nyimas Halima Hassan mengajak untuk antre makanan kotak di bawah. Berhubung saya sudah menyiapkan bekal berupa nasi dengan telur balado serta sambel kentang dan udang, saya pun tidak mengambil jatah makan buka puasa yang disediakan oleh restoran yang ada di Central Mosque itu. Di belakang dua baris dari tempat kami duduk terlihat empat ibu membuka bekal makanan berupa roti dan kari serta keju dan asinan buah zaitun. Wanita di belakang saya pun menawarkan roti. "Roti dari Maroko," ujarnya. Usai makan malam di ruangan shalat, seorang wanita tua membawa semacam dupa, wewangian khas dari daerah Timur Tengah. Ruangan seketika menyebarkan wangi dupa yang dibawa berkeliling ruangan shalat. Tidak lama kemudian, serombongan wanita sejak lama menunggu di luar pintu menyerbu masuk. "Tidak ada lagi tempat di sana," ujar wanita yang berdiri di pintu. Shalat tarawih berjamah pun dimulai. "Di sini shalatnya 23 rakaat" ujar Nyimas. Tahun sebelumnya, dia juga ingin beri`tikaf di sana, tapi dia tiba di masjid itu bukan pada malam ke-27. Pengurus masjid pun meminta dia kembali ke rumah. Sejak tujuh tahun lalu, pengurus masjid melarang wanita beri`ikaf, kecuali hanya di malam ke-27, ujar wanita Pakistan yang duduk di sebelah penulis. Menurut Imam Abu Hanifah, ada tiga jenis i`tikaf. Pertama, i`tikaf wajib yang disebabkan oleh nadzar, i`tikaf sunnah sepuluh hari di bulan Ramadhan sebagaimana kebiasaan Nabi Muhammad SAW dan i`tikaf nafil yang tidak ditentukan waktu dan harinya. Suatu Kemewahan Bagi penulis, dan juga banyak kaum Muslim lain di Inggris, shalat berjamaah di masjid merupakan suatu kemewahan. Apalagi bagi Muslim yang tinggal jauh dari London, seperti tempat tinggal penulis yang di kampung Colchester, sekitar dua jam dari London. Ketika imam usai membacakan surah Al Fatihah dan disambut dengan kata "amien" secara serentak, terasa ada kemewahan yang menghapus segala rindu akan suasana masjid di negeri sendiri. Suara "amien" yang bergema di dalam mesjid terasa syahdu terdengar, seperti paduan suara yang terlontar secara spontan. Setelah isya, shalat tarawih yang disambung dengan shalat witir dan doa qunut berlangsung sekitar dua jam. Dalam shalat tarawih, imam selalu membaca surat yang cukup panjang. Tarawih usai sekitar pukul 11 malam, beberapa ibu pun mulai membaca ayat suci Al-Quran dan ada pula yang merebahkan badannya. Sejumlah ibu-ibu meneruskan acara minum teh yang dituangkan dari termos yang mereka bawa. Di depan saya, seorang ibu asal Pakistan memberikan ceramah dengan mengunakan Bahasa Arab. Saat dia sadar saya ikut mendengar meskipun tidak mengerti artinya, ia pun berkata "Anda bicara dalam bahasa Inggris?" dan ketika dijawab dengan anggukan, dia pun pun melanjutkan ceramahnya dengan bahasa Inggris. Malam pun terus berjalan dan tepat pukul satu dinihari, terdengar imam mengajak shalat malam bersama. Ini pengalaman pertama shalat malam dengan imam. Tahajud sebanyak delapan rakaat dengan salam tiap dua rakaat. Di rakaat terakhir, imam memanjatkan doa panjang sekira setengah jam sambil berdiri. Doa yang dilafalkan dalam bahasa Arab itu tiba-tiba menggiring perasaan dan pikiran ke segala perbuatan yang pernah dilakukan, juga kesalahan-kesalan dan dosa yang penah dibuat. Seluruh jamaah mengaminkan setiap kali imam menyampaikan doa. Terbayang juga ketika umat Islam melaksanakan tawaf di Padang Arafah. Tanpa sadar, banyak jamaah yang mengeluarkan air mata, terutama ketika mengingat kesalahan dan dosa yang diperbuat kepada sanak saudara yang kini jauh di negeri asal para jamaah yang datang dari berbagai negeri itu. (*)

Oleh Oleh Zeynita Gibbons
COPYRIGHT © ANTARA 2007