Jakarta (ANTARA News)  - Moda Raya Terpadu (MRT) akan melengkapi moda transportasi terkategori Mass Rapid Transit (transportasi massal cepat) yang lebih dulu ada, kereta komuter (KRL) dan Transjakarta, mulai akhir 26 Februari 2019.

Kereta yang diberi nama "Ratangga" atau “Kereta Perang” dalam bahasa Sanskerta, MRT siap menelusuri jalur-jalur layang dan bawah tanah dari Lebak Bulus hingga Bundaran HI, moda transportasi ini ditargetkan siap melayani para pelaju di ibu kota pada 24-31 Maret 2019.

Seiring gegap gempita masyarakat dan publikasi besar-besaran di media, banyak yang berharap MRT turut menjadi jawaban atas kemacetan di Jakarta. Kondisi kemacetan di Ibukota Jakarta diibaratkan sebagai "kanker" menahun, karena sulitnya disembuhkan hingga menimbulkan kerugian hingga Rp67 triliun per tahun (menurut Bappenas), yang meliputi biaya bahan bakar, biaya kesehatan (akibat polusi tinggi) dan nilai waktu yang terbuang.
Baca juga: Harapan mengurangi polusi Ibu Kota dengan MRT

Bukan tanpa sebab, pasalnya Moda Raya Terpadu (MRT) disebut-sebut dapat mengalihkan penggunaan kendaraan pribadi ke transportasi massal dengan berbagai kelebihan yang ditawarkan, seperti bisa mengangkut hingga sekitar 2.000 orang dalam satu rangkaian (enam kereta), menurunkan waktu tempuh, memberi kenyamanan, serta mengakses tempat-tempat strategis.

"Wah bisa turun itu (angka kemacetan)," kata Wakil Presiden Jusuf Kalla saat meninjau proyek MRT, Rabu (20/2).

Pada kesempatan itu JK, panggilan akrab Wapres ikut menaiki dan merasakan langsung betapa MRT merupakan salah terobosan terkini system transportasi ibukota. JK juga melihat detil kualitas, dari sisi teknologi hingga konsep pelayanan yang akan diusung MRT. Untuk lebih memastikan kesiapan operasi MRT, tidak hanya pejabat publik dan masyarakat yang diundang langsung melihat dari dekat, tetapi juga sejumlah dubes negara sahabat. Duta Besar Kerajaan Belgia untuk Indonesia Stephane De Loacker memandang kehadiran MRT Jakarta dapat membuat masyarakat ibukota terbiasa menggunakan transportasi publik ketimbang kendaraan pribadi. "

"Hal-hal lainnya seperti  kenyamanan, terhindar dari kemacetan dan tepat waktu dapat membuat masyarakat pada akhirnya terbiasa menggunakan dan cenderung menyukai transportasi publik. Sungguh penting untuk memiliki transportasi publik semacam ini di kota seperti Jakarta, dan saya berharap transportasi publik tersebut  akan digunakan oleh sebanyak mungkin masyarakat," ujar Dubes Belgia itu.
Baca juga: Dubes Belgia: MRT buat masyarakat terbiasa gunakan transportasi publik


Sedangkan, Duta Besar Jepang untuk Indonesia Masafumi Ishii mengatakan bahwa MRT akan mengubah pola komuter, dan saya pikir dalam jangka panjang juga akan mengubah pola hidup orang Jakarta ke arah yang positif.
Baca juga: Atasi macet, Dubes Jepang harapkan MRT membuat warga Jakarta lebih bahagia
Peluncuran MRT Jakarta sudah di depan mata. Namun, dari semua persiapan hingga beroperasinya MRT ini,  efek yang diharapkan, mobilitas warga kota Jakarta akan meningkat, hingga akhirnya bisa berdampak kepada peningkatan dan pertumbuhan ekonomi kota dan meningkatkan kualitas hidup warga kota dengan turunnya kadar polusi udara.

Pada sisi lainnya, kehadiran MRT dan moda transportasi berbasis teknologi lainnya seperti Transjakarta, KRL dan LRT, memunculkan kultur baru pengguna, mulai disiplin hingga lebih terikat pada jadwal.

Perilaku pengguna yang semula seenaknya, misalnya merokok di dalam angkutan, duduk semaunya, tidak antre, perlahan berubah berkat berbagai pengaturan dalam moda-moda transportasi yang ada di Jakarta.

Budaya menggunakan transportasi-pun berubah, jika awalnya uang fisik menjadi "tiket" untuk naik angkutan umum, kini di Jakarta orang-orang sudah akrab menggunakan uang elektronik sebagai kartu akses naik transportasi umum yang memang menerapkan teknologi tersebut.
Masinis kereta Mass Rapid Transit (MRT) melakukan uji coba di Jakarta, Kamis (17/1/2019). Jelang peresmian MRT yang akan dilaksanakan pada Maret 2019 tersebut masyarakat dapat mencoba secara gratis moda transportasi itu mulai 27 Februari. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/ama.

Efektifitas MRT

MRT kini sudah terbangun untuk Koridor I (Selatan-Utara) sejauh 16 kilometer dengan 13 stasiun (lima layang dan enam bawah tanah), menghubungkan Lebak Bulus ke Bundaran Hotel Indonesia yang merupakan kawasan pusat ekonomi di Jakarta jadi lebih dekat dan murah.

Penggunaan kereta dengan kecepatan maksimal hingga 100 km/jam, Lebak Bulus-Bundaran HI yang biasanya ditempuh dalam waktu 1-2 jam pada jam sibuk, dipangkas menjadi 30 menit saja.

Walau belum secara resmi, moda transportasi yang disebut ramah disabilitas ini, juga memiliki tarif yang cukup murah dengan kisaran Rp8.500-Rp10.000 (usulan dari PT MRT Jakarta) dengan pembayaran menggunakan kartu uang elektronik.
Baca juga: Tarif MRT Jakarta Rp8.500, Menhub: masuk akal

Masyarakat pun, menyambut baik kehadiran transportasi massal yang memiliki berbagai kemudahan dan kelebihannya itu, terutama mereka yang sehari-hari beraktifitas di sekitaran Sudirman-Thamrin.
Ferdiansyah misalnya, dia melihat MRT akan sangat berguna bagi dirinya yang bekerja di salah satu perusahaan di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, karena bisa menghemat waktu tempuh yang sangat drastis.

Namun pria berusia 29 tahun ini masih mempertimbangkan penggunaan transportasi berjenis Mass Rapid Transit terbaru di ibu kota ini, terutama terkait dengan biaya transport yang harus dikeluarkannya sehari-hari dari rumahnya di kawasan Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, ke stasiun MRT terdekat yaitu Lebak Bulus lalu ke kantornya dan sebaliknya.

“Dari rumah ke Lebak Bulus butuh waktu sekitar 20 menit dan pasti membutuhkan ongkos, belum lagi ongkos MRT-nya dan dari stasiun terakhir Bundaran HI ke kantor harus pakai angkutan lagi artinya ongkos lagi, sudah berapa itu. Jadi mungkin pikir-pikir dulu, dan masih akan mengandalkan sepeda motor ke kantor," kata Ferdiyansyah.

Baca juga: Pengamat harap tarif MRT bisa kompetitif
Sikap tersebut, dinilai wajar oleh pengamat transportasi dari Institut Studi Transportasi (Instra) Deddy Herlambang yang menilai tarif MRT belum kompetitif karena termasuk transportasi baru yang butuh sosialisasi pada masyarakat.

Salah satu penyebab lainnya, adalah karena tidak adanya kantung parkir (park and ride) di sekitar stasiun MRT yang bisa memudahkan pengguna untuk datang dan pergi, serta meringankan beban biaya pada masyarakat itu sendiri.

"Jadi sebetulnya wajar, kan memang saat ini kita sama-sama ketahui belum ada kantung parkir sebagai 'fasilitas' yang bisa memangkas pengeluaran, belum lagi ongkos angkutannya sendiri kurang kompetitif, harusnya seperti Transjakarta misalnya, bisa Rp3.500 putar-putar. Karenanya ini harus ada jalan keluar yang solutif dan dieksekusi dengan waktu tidak terlalu lama," kata Deddy.

Dengan tidak adanya lahan parkir, selain akan menambah beban biaya tambahan dari pelaju MRT, akhirnya juga akan ada potensi menimbulkan kepadatan lalu lintas akibat banyakya angkutan kota, ojek pangkalan hingga ojek online yang "mangkal" di pintu akses ke stasiun MRT.
Suasana terminal pembangunan proyek Mass Rapid Transportation (MRT) koridor Lebak Bulus-Bundaran HI di Jakarta, Jumat (4/1/2019). MRT memasuki tahap ujicoba dari akhir Desember 2018 hingga Maret 2019 karena Moda Raya Terpadu itu rencananya akan beroperasi pada Maret 2019. ANTARA FOTO/Reno Esnir/pd. (ANTARA FOTO/RENO ESNIR)

Jalan keluar

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengakui rancangan stasiun MRT Jakarta belum terlalu ideal karena tidak adanya fasilitas kantung parkir atau "park and ride" yang menjadi elemen penting dalam mengubah kebiasaan warga dari menggunakan kendaraan pribadi ke transportasi umum.

Di sisi lain, Depo Lebak Bulus sebagai fasilitas luas yang dimiliki PT MRT Jakarta dan titik awal dari jalur Koridor I MRT, juga saat ini belum terlihat memiliki kantung parkir yang bisa digunakan oleh masyarakat sebagai tempat menitipkan kendaraannya, meski Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di depan Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan saat ini pihaknya "Sedang membangun beberapa kantung parkir di sisi Selatan Lebak Bulus".

Jalan keluar pun sebenarnya sudah disiapkan oleh PT MRT dan Pemprov DKI Jakarta yang merencanakan pengadaan kantung parkir di tiap stasiun mulai dari Depo Lebak Bulus, hingga ke stasiun Sisingamangaraja, sebagai stasiun layang terakhir, atau hingga ke stasiun Dukuh Atas sebagai kawasan Transit Oriented Development (TOD) yang merupakan titik pertemuan berbagai moda transportasi di Jakarta.

"Yang diutamakan adalah di sekitar stasiun layang di luar kawasan Sudirman-Thamrin. Untuk tahap awal, pengadaan kantung parkir di Lebak Bulus dan Fatmawati yang merupakan titik terjauh dari jalur koridor I ini," kata Direktur Utama PT MRT Jakarta William Sabandar.
Baca juga: TOD, "magnet" integrasi dan bisnis MRT
Baca juga: Perlunya kesungguhan menerapkan TOD dalam MRT Jakarta


Dalam rencana itu, kantung parkir ini akan dibangun di lahan kosong berjarak hingga radius 400 meter dari stasiun dengan disediakan bus pengumpan (feeder) ke stasiun MRT, atau opsi selanjutnya, bekerjasama dengan pemilik gedung atau lahan di sekitar stasiun dengan tarif parkir flat alias tetap.

Salah satu pihak gedung yang kemungkinan diajak kerja sama untuk pengadaan lahan parkir ini, adalah gedung swalayan Carrefour, yang letaknya tepat berada di seberang stasiun MRT Lebak Bulus.

Vice President Corporate Communication PT Transmart Carrefour, Satria Hamid, saat dihubungi, menyatakan pihaknya menyambut baik rencana pelibatan Carrefour Lebak Bulus yang memiliki luas lahan parkir sekitar 7.000 meter persegi dengan kapasitas 500 mobil dan 500 motor dalam skema yang diwacanakan tersebut yang dinilainya memberikan nilai tambah pada pihaknya.

"Namun harus dipikirkan lebih lanjut oleh Pemprov atau MRT bagaimana aksesnya langsung dari parkiran ke stasiun MRT. Dan juga bagaimana pengaturan tarifnya, karena kami memiliki rekanan (vendor) untuk mengelola parkir yang diperlakukan secara bisnis dan ini juga kan merupakan objek pajak bagi pemerintah sendiri sehingga harus ada solusi yang saling menguntungkan," kata Satria.


Opsi menggandeng pihak swasta ini, saat ini masih digodok dan dikaji oleh Pemprov DKI Jakarta sebagai pemilik moda transportasi untuk melihat keuntungan dan juga kekurangannya, serta mencermati landasan hukum yang bisa memayunginya, karena saat ini belum ada peraturan yang mengatur soal itu.

MRT dan berbagai teknologi yang dimilikinya, siap menjadi simbol baru transportasi modern yang akan menjadi andalan dalam melayani warga kota Jakarta dan sekitarnya, yang menurut Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Kementerian Perhubungan memiliki pergerakan orang hingga angka 47 juta dalam satu hari.

Namun dengan masalah seperti ketiadaan lahan parkir dan tarif, harus menjadi perhatian serius baik pemerintah dan juga swasta, agar sama-sama saling menguntungkan, dengan mengutamakan asas keadilan bagi masyarakat.

Jangan sampai MRT yang diharapkan dapat memberi akses transportasi modern ke wilayah metropolitan lainnya yaitu Bodetabek, menjadi tidak efektif mengalihkan penggunaan kendaraan pribadi ke transportasi umum, akibat tidak menjadi pilihan utama sasaran penggunanya, yaitu masyarakat itu sendiri.
 
Petugas kereta Mass Rapid Transit (MRT) berbincang saat melakukan uji coba di Stasiun Lebak Bulus, Jakarta, Kamis (17/1/2019). Jelang peresmian MRT yang akan dilaksanakan pada Maret 2019 tersebut masyarakat dapat mencoba secara gratis moda transportasi itu mulai 27 Februari. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/wsj.
Baca juga: Menhub berharap peletakan batu pertama MRT fase II Maret 2019
Baca juga: Memulai peradaban baru dengan MRT
Baca juga: Hikayat kereta bawah tanah dari London hingga Jakarta

 

Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Royke Sinaga
COPYRIGHT © ANTARA 2019