Brisbane (ANTARA News) - Indonesia yang telah empat kali mengamandemen konstitusinya sejak berakhirnya era Orde Baru tahun 1998 merupakan model yang menarik bagi Dunia Islam karena para wakil rakyat negara itu tidak melakukannya karena paksaan negara lain melainkan karena kesadaran. "Di Dunia Islam, Indonesia menjadi model yang menarik karena Indonesia mengamandemen undang-undang dasarnya bukan karena Amerika Serikat menyuruh tetapi karena kesadaran sendiri," kata Dosen Fakultas Hukum Universitas Wollongong Australia, Dr.Nadirsyah Hosen, di Brisbane, Sabtu. Pendapat itu disampaikannya di depan puluhan warga Muslim Indonesia yang menghadiri acara bedah buku karyanya berjudul "Shari`a and Constitutional Reform in Indonesia" (Shariah dan Reformasi Konstitusi di Indonesia). Buku terbitan Lembaga Studi-Studi Asia Tenggara (ISEAS) tahun 2007 yang membahas amendemen UUD 1945 (1999-2002) dari perspektif syariah (Hukum Islam) itu sendiri merupakan disertasi doktor Nadirsyah di Universitas Nasional Singapura (NUS). Indonesia merupakan contoh negara berpenduduk mayoritas Muslim yang berhasil memasukkan substansi syariah ke dalam UUD hasil amandemennya tanpa sepatah kata Syariah pun ditemukan di dalamnya. Kenyataan ini mengejutkan banyak pihak di negara-negara Barat sekaligus membuktikan betapa Muslim Indonesia sangat moderat dalam tataran ketatanegaraan maupun teologi, katanya. Dalam acara bedah buku yang dipandu Muhammad Masyhuri dan menghadirkan Pakar Keislaman Universitas Griffith, Prof. Julia Howell itu, ia mengupas pertanyaan penting yang tersirat di dalam amandemen UUD tersebut. Pertanyaan penting dimaksud adalah "dapatkah syariah dan konstitutionalisme demokratis dilebur tanpa mengkompromikan hak azasi manusia, aturan hukum, dan kebebasan beragama?" Nadirsyah memandang kontribusi partai-partai politik di Indonesia terhadap proses dan hasil amendemen dengan pendekatan shariah yang substantif ini menunjukkan kemampuan mereka menangani UUD modern tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan syariah. Studi itu menunjukkan pula satu gambaran yang mungkin tentang bagaimana Islam dan konstitusionalisme dapat saling berdampingan dalam visi yang sama dengan kemungkinan mencapai hasil walaupun bukan tanpa risiko konflik. Dalam paparannya, Nadirsyah sempat membandingkan bagaimana kedudukan syariah dalam konstitusi beberapa negara berpenduduk Muslim lain di dunia. Di Mesir misalnya, syariah justru dimasukkan ke dalam hukum formal. Konstitusi baru Afghanistan paska berakhirnya era pemerintahan Taliban pun demikian karena ada penegasan "tidak boleh ada hukum yang bertentangan dengan Islam". Konstitusi Irak yang baru juga menerapkan shariah formal sehingga Nadirsyah berpandangan bahwa Amerika Serikat gagal dalam menyekulerkan negara itu karena UUD Irak yang baru justru "lebih Islami" dibandingkan UUD era Saddam Hussein. Hanya saja, UUD 1945 hasil amandemen yang berhasil menyandingkan nilai-nilai agama (syariah substansial) dengan nilai-nilai lain itu masih harus diamandemen lagi, terutama Pasal 29, supaya pesoalan-persoalan seperti Perda Shariah, Ahmadiyah dan Lia Salamullah, dapat diselesaikan dengan baik, katanya. Prof.Julia Howell memuji buku Nadirsyah Hosen ini karena memberikan masukan yang berharga secara teoritis tentang amandemen UUD dan kaitannya dengan kedudukan nilai-nilai agama di dalamnya sehingga bermanfaat bagi akademisi lain yang tertarik melakukan studi komparatif di negara-negara lain. Acara bedah buku yang berlangsung di salah satu ruang kuliah Fakultas Teknik Universitas Queensland, St.Lucia itu diikuti puluhan anggota Perhimpunan Masyarakat Muslim Indonesia di Brisbane (IISB) sekaligus menjadi salah satu kegiatan mereka mengisi lebaran. (*)

Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2007