Depok (ANTARA News) - Pemberian Nobel Perdamaian 2007 kepada mantan Wakil Presiden Amerika Serikat (AS) Al Gore dan Panel Antar-pemerintahan PBB soal Perubahan Iklim (IPCC) merupakan langkah Komite Nobel untuk memulihkan kredebilitas lembaga itu sebagai anugerah kelas dunia, dengan mengubah pendekatan politis dimasa lalu yang penuh dengan jebakan. Hal tersebut dikatakan Direktur Kajian Politik Center for Indonesian National Policy Studies (CINAPS), Guspiabri Sumowigeno, di Depok, Selasa, menanggapi pemberian Nobel Perdamaian bukan untuk pejuang politik. "Mungkin Panitia Nobel sudah kapok untuk memberikan anugerah tersebut pada tokoh 'pejuang politik', karena berpotensi merusak kredibilitas lembaga Nobel itu sendiri. Apalagi, bila ternyata tokoh yang diberi anugerah kemudian tampak tidak 'perform' dalam mewujudkan perdamaian," katanya. Ia mencontohkan pada kasus anugerah Nobel Perdamaian tahun 1996 untuk dua pejuang kemerdekaan Timor Leste, yaitu Uskup Belo dan Ramos Horta. Setelah beberapa tahun kemudian, tampak bahwa Timor Leste meski memiliki dua tokoh peraih Nobel Perdamaian adalah negeri yang dapat dikatakan gagal untuk mewujudkan perdamaian. "Sesuatu yang jelas merusak kredibilitas lembaga Nobel itu sendiri," katanya. Selalu kontroversial Guspiabri mengatakan berbeda dengan jenis anugerah Nobel lainnya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, Nobel Perdamaian memang hampir selalu kontroversial. Sebelumnya anugerah Nobel Perdamaian hampir selalu kental dengan muatan politis dan cenderung menjadi bagian dari agenda serta kampanye politik global tertentu. "Di balik pemberian Nobel Perdamaian ada masksud tertentu, yaitu agenda politik untuk mendorong separatisme atau pergantian rezim di suatu negara," katanya. Akibatnya, kata dia, anugerah Nobel Perdamaian kerap dipandang sebagai sesuatu yang kontroversial, karena parameter yang dipergunakan kurang dapat diterima semua kalangan. Perlu dicatat bahwa hadiah Nobel Perdamianan jarang disambut gembira oleh suatu megara yang warganya menerima anugerah tersebut. Pemerintah RI dulu juga tak menyambut gembira kala Uskup Belo yang notabene warga RI kala itu, menerima anugerah tersebut, karena terbaca dengan jelas sebagai bagian dari upaya melepaskan Timor-Timor dari Indonesia. Namun diakuinya bahwa pola baru dari Panitia Nobel dalam memilih "pejuang perdamaian" yang layak mendapat anugerah Nobel ini amatlah menggembirakan, karena menunjukkan kecenderungan untuk semakin memprioritaskan nilai-nilai perdamaian universal yang substantif serta diperlukan bersama oleh dunia, lepas dari kepentingan-kepentingan politik praktis. "Agenda-agenda untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup, ekonomi dan kesejahteraan rakyat lebih dapat diterima dan dipahami semua pihak sebagai modalitas perjuangan universal menuju perdamainan yang esensial," katanya. Seperti diketahui, Komite Nobel di Oslo, Norwegia, menetapkan mantan Wapres AS, Al-Gore dan Panel Antarpemerintahan PBB soal Perubahan Iklim (IPCC) yang beranggota 3.000 ilmuwan sebagai peraih Nobel Perdamaian 2007. Mereka menyisihkan 181 calon lainnya. Keduanya dipandang merupakan pejuang perdamaian dengan upayanya yang efektif untuk membangun perdamaian dengan menghindarkan dunia dari bencana lingkungan yang dapat menjadi sumber konflik amat besar dimasa mendatang. Dalam dua tahun terakhir anugerah Nobel Perdamaian tidak diberikan pada "pejuang politik" dibidang HAM dan demokrasi atau tokoh oposisi di suatu negara yang digolongkan sebagai negara non-demokrasi. Pada Tahun 2006 lalu, Nobel Perdamianan diberikan kepada Ekonom Bangladesh, Muhammad Yunus, penggerak ekonomi rakyat khususnya wanita Bangladesh, melalui Grameen Bank-nya. (*)

Pewarta: muhaj
COPYRIGHT © ANTARA 2007