Kupang (ANTARA News) - Sebuah buku yang mengungkap sisi-sisi lain yang belum pernah terekspos mengenai masalah Laut Timor berjudul "Skandal Laut Timur, Sebuah Konspirasi Politik Ekonomi Canberra-Jakarta" segera diluncurkan. Direktur Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) Ferdi Tanoni yang menulis buku itu di Kupang, Rabu, mengatakan, rencananya buku tersebut akan diluncurkan di Jakarta pada 3 November mendatang. "Buku ini saya tulis sendiri dengan dibantu oleh tim editor dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Ocean Watch dan beberapa teman wartawan yang mendalami persoalan Laut Timor," katanya. Buku ini mengupas tentang masalah penetapan garis batas maritim di Laut Timor yang dituangkan dalam berbagai MoU antara Indonesia dan Australia, termasuk di antaranya Gugusan Pulau Pasir dan Celah Timor serta hak-hak nelayan tradisional Indonesia di Laut Timor. "Setelah saya mencermati, ternyata MoU dan perjanjian kerjasama antara kedua negara sangat merugikan kepentingan NKRI. Atas dasar inilah, muncul sebuah keinginan untuk mengupas persoalan tersebut dalam sebuah buku sebagai dokumen penting bagi bangsa ini," katanya. Dalam buku ini, Tanoni mengungkap berbagai fakta pengibulan Australia terhadap Indonesia untuk menguasai seluas-luasnya wilayah Laut Timor serta ketidakberdayaan diplomasi tim perunding Indonesia di hadapan Australia yang selama ini belum pernah terungkap kepermukaan. Salah satu persoalan yang belum diungkap sebelumnya adalah pertemuan Presiden Soeharto dengan Perdana Menteri Australia, Gough Whitlam di Wonosobo, sebuah kota kecil dekat Yogyakarta pada September 1974 yang diduga kuat sebagai awal terjadinya Skandal Laut Timor. Fakta-fakta yang terungkap dalam pertemuan rahasia antara Soeharto-Whitlam itu menunjukkan bahwa preferensi Whitlam adalah penggabungan Timor Portugis ke dalam NKRI, ketimbang sebuah kemerdekaan bagi Timor Timur. Menurut Tanoni, hal ini dipengaruhi oleh ekspektasinya bahwa Presiden Soeharto akan mengakomodir negosiasi batas dasar laut di Laut Timor ke selatan Timor Timur (Celah Timor) seperti yang telah disepakati dalam Perjanjian 1972 tentang Batas Dasar Laut Timor ke selatan Timor Barat. Dalam buku ini, ia juga mengungkap bahwa pada 1978, Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja berkomentar bahwa Australia telah menjadikan Indonesia sebagai "tukang cuci" dalam negosiasi-negosiasi tersebut. Menlu Kusumaatmadja mengatakan, "Orang-orang Australia telah dapat meyakinkan kita untuk menerima bahwa Parit Timor mewujudkan suatu batas alamiah antara kedua landas kontinen yang sebetulnya tidak benar". Buku setebal 200 halaman ini mengungkap berbagai fakta dan data teori konspirasi Canberra-Jakarta dalam merundingkan batas-batas maritim di Laut Timor yang selama ini selalu disembunyikan dan dibantah oleh Departemen Luar Negeri Indonesia dan Australia. "Saya berharap, buku ini dapat mengubah sikap Jakarta yang selalu menutup diri terhadap masalah Laut Timor serta dapat mempercepat akselerasi suatu perundingan ulang batas maritim di Laut Timor yang permanen antara Indonesia, Australia dan Timor Leste," katanya. (*)

Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2007