Jakarta (ANTARA) - Stapac Jakarta menolak jemawa menatap rangkaian partai final IBL 2018-2019 menghadapi Satria Muda Pertamina Jakarta, meski di atas kertas posisi mereka jauh lebih diunggulkan lantaran catatan penampilan dalam perjalanan menuju panggung pamungkas.

Sang arsitek asal Lithuania, Giedrius Zibenas, bersikeras bahwa tak ada alasan menjadikan catatan 17 kemenangan dan satu kekalahan (17-1) di musim reguler serta langkah cukup mulus di fase playoff sebagai dasar untuk menjadikan timnya lebih favorit.

"Saya setuju bahwa setelah musim reguler berakhir dan penampilan semifinal kami terlihat tidak begitu buruk dalam jalan menuju final, tapi kalau dibilang favorit, tentu tidak," kata pelatih Zibenas saat ditemui selepas sesi latihan Stapac di GOR BritAma Arena, Jakarta, Rabu petang.

Sebab, menurut pelatih yang akrab disapa Gibi itu, Satria Muda sebetulnya memiliki lebih banyak alasan untuk dijadikan favorit.

Ia setidaknya menyebutkan dua hal mendasar, yakni keberadaan jumlah pemain tim nasional putra Indonesia yang lebih banyak di Satria Muda serta pengalaman merasakan atmosfer final IBL untuk musim ketiga beruntun, termasuk berstatus juara bertahan untuk musim ini.

Di sisi lain, khusus untuk laga final pertama yang bakal berlangsung pada Kamis (21/3) di BritAma Arena, Zibenas juga menyebut bahwa Satria Muda memiliki aspek keuntungan lain, yakni tampil di hadapan publik pendukungnya sendiri.

Baca juga: Stapac dan Satria Muda sama-sama usung ambisi juara dua laga langsung

Sebaliknya, keuntungan itu tidak akan pernah dimiliki Stapac, karena di laga kedua yang berlangsung Sabtu (23/3), pun mereka berstatus sebagai tuan rumah, pertandingan bakal digelar di GOR C'Tra Arena, Bandung, yang notabene bukanlah kandang kedua tim.

"Orang harus memberi saya argumen yang lebih bisa diterima, ketimbang bukti-bukti keunggulan Satria Muda yang saya sebutkan," kata Zibenas.

Oleh karena itu, status favorit tak sedikitpun terlintas di kepala Zibenas bagi Stapac di partai final, terlebih menurutnya format best of three alias tim yang dua kali menang berhak menyandang gelar juara, menjanjikan situasi yang jauh lebih tidak terduga.

Sebab jika dibandingkan dengan format best of five (direncanakan lima laga) atau best of seven (direncanakan tujuh laga), ada sedikit waktu lebih untuk menata kondisi tim, baik fisik maupun mental ataupun stamina.

"Semuanya bisa terjadi di format best of three," pungkas Zibenas.

IBL musim ini menjadi momen kembalinya Stapac mencapai partai final setelah empat musim sebelumnya selalu gagal, dan tentu saja harapan untuk menjadi juara tetap terjaga tanpa mereka harus jemawa dengan catatan 17-1 di musim reguler serta kemenangan 2-0 atas Pacific Caesar Surabaya di babak semifinal.

Sebaliknya, Satria Muda yang terseok-seok di musim reguler dengan catatan 9-9 menempuh jalan lebih terjal untuk mencapai final, yakni menyingkirkan BPD DIY Bima Perkasa Yogya 2-0 dan hampir dijungkalkan tim kuda hitam NSH Jakarta meski menang dengan skor 2-1 di semifinal.

Terlebih, Satria Muda juga memiliki tantangan lain, yakni absennya Jamarr Andre Johnson yang dibekap cedera sejak laga semifinal kedua.

Baca juga: Tanpa Jamarr, Satria Muda tak gentar hadapi Stapac di final

Pewarta: Gilang Galiartha
Editor: Endang Sukarelawati
COPYRIGHT © ANTARA 2019