Jakarta (ANTARA News) - Pelayanan kesehatan bagi Petugas Pelaksana Ibadah Haji (PPIH) di Rumah Sakit (RS) Tarakan Jakarta dilaksanakan secara tidak profesional dan lamban. "Amburadul. Suasana bagai sebuah pasar tradisional. Padahal yang datang kebanyakan dari pegawai negeri dan aparat polisi yang ditunjuk sebagai PPIH di Arab Saudi," kata Mansyur, yang ikut mengantri untuk mendapatkan pemeriksaan di RS itu, Kamis. Wardani Muchlis, Ketua Daerah Kerja (Daker) Mekkah, mengatakan, bentuk pelayanan seperti ini jika dinilai pasti masuk katagori tak lulus. Padahal, ketika melakukan simulasi pelatihan petugas PPIH di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, bulan lalu, semua pihak memegang komitmen akan memberikan pelayanan prima bagi siapa pun tanpa memandang status sosial. Sedangkan pemeriksaan kesehatan bagi peserta PPIH disepakati di RS Tarakan Jakarta. "Nyatanya, mulai pemeriksaan darah, rontgen, hingga check up, peserta PPIH harus ngantri bersama pasien umum dengan dilayani beberapa petugas saja," kata Yusuf, peserta lain yang ikut memeriksakan kesehatannya. Departemen Agama dan Departemen Kesehatan dalam upaya meningkatkan pelayanan calon jemaah haji dari tanah air membentuk tim PPIH. Persyaratan peserta PPIH harus mengikuti tes kesehatan, termasuk check up dan mendapatkan vaksin meningitis. Peserta untuk menjalani tes kesehatan dan memperoleh vaksin harus membayar Rp300 ribu. Bahkan mungkin bisa lebih, kata seorang peserta. Pemantauan ANTARA News, suasana dan pelayanan amburadul seperti itu berlangsung sejak tiga hari lalu. Peserta bahkan sampai harus duduk di lantai RS tersebut menunggu dipanggil untuk mendapatkan pemeriksaan. Kepala Pusat Penerangan Depag, Mashuri yang ikut memeriksakan kesehatannya bersama peserta PPIH, sempat "di ping pong" oleh petugas RS tersebut karena tak jelasnya prosedur untuk mendapat vaksin meningitis. Manajemen RS Tarakan yang dihubungi menolak mengomentari bentuk pelayanan PPIH seperti itu. Demikian juga Humas RS Tarakan, Juraidah, juga menolak mengomentari hal ini.(*)

Pewarta: rusla
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2007