Jakarta (ANTARA) - Alumni Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia (APTSI) mendesak pemerintah untuk menyerahkan kembali mekanisme pemilihan rektor perguruan tinggi keagamaan kepada senat sebagaimana sebelum penerapan Peraturan Menteri Agama Nomor 68 Tahun 2015.

Ketua Presidium APTSI Alfian Usman dalam konferensi pers di Jakarta, Sabtu, menjelaskan peraturan menteri agama tentang pengangkatan dan pemberhentian rektor dan ketua perguruan tinggi keagamaan yang diselenggarakan oleh pemerintah mengamanatkan penetapan rektor perguruan tinggi keagamaan oleh menteri agama setelah universitas mengajukan tiga kandidat.

"Kami melihat penetapan dan pengangkatan rektor perguruan tinggi keagamaan ini rawan sekali potensi korupsinya. Potensi negatif lainnya adalah menimbulkan ketidakharmonisan hubungan antar-civitas akademika di perguruan tinggi keagamaan," kata Alfian.

Dia berpendapat mengembalikan mekanisme pemilihan rektor perguruan tinggi keagamaan kepada senat seperti semula merupakan solusi menekan potensi korupsi dalam penetapan rektor perguruan tinggi keagamaan.

"Ini langkah baik untuk Kemenag maupun untuk perguruan tinggi keagamaan. Sebenarnya, ketika tahun 2015 PMA ini disahkan sudah banyak protes. Misalnya pada tahun 2016, sebanyak 300 Guru Besar dari berbagai perguruan tinggi keagamaan Islam negeri (PTKIN) mendatangi DPR meminta PMA itu dicabut," jelas dia. 

APTSI berharap pemerintah mengkaji kembali penerapan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor dan Ketua pada Perguruan Tinggi Keagamaan yang diselenggarakan oleh Pemerintah.

Alfian mengatakan APTSI tidak ingin citra Kementerian Agama semakin buruk akibat praktik politik uang dalam pemilihan rektor yang melibatkan oknum-oknum kementerian dan partai tertentu.

"Kami meminta kepada presiden baru yang terpilih nanti agar memperbaiki Kementerian Agama. Jangan ada lagi para guru-guru kita dimintai uang untuk menjadi rektor. Jangan sampai ada jabatan rektor diberikan kepada orang yang menyuap untuk mendapatkannya, karena itu merusak sistem pendidikan," katanya.

"Bagaimana pendidikan kita bisa bersaing dengan negara lain, jika pemilihan rektor di Indonesia menggunakan politik uang yang merusak sistem merit," ia menambahkan.

APTSI menyelenggarakan konferensi pers menyusul pernyataan Mahfud MD dalam program Indonesia Lawyer Club di TV One mengenai indikasi kecurangan pada pemilihan rektor di beberapa perguruan tinggi keagamaan di Indonesia.

Konferensi pers itu antara lain dihadiri oleh Adhyaksa Dault dari IPB, Chairul Anwar dari Trisakti, dan Sekretaris Jenderal APTSI M Elrick.

Baca juga:
Rommy bantah terlibat jual beli jabatan rektor
KPK akan panggil Menag Lukman Hakim

 

Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Maryati
COPYRIGHT © ANTARA 2019