Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Arief Nugraha menginginkan pemerintah dapat membentuk badan pengelola dana perkebuhan karet seperti yang terdapat dalam komoditas sawit, dalam rangka meningkatkan peremajaan dan memperluas lahan kebun karet.

"Pembentukan BPDP karet mampu menambah luas lahan karet yang diremajakan. Jumlah luas lahan kebun karet yang diremajakan selama ini terhambat karena terbatasnya jumlah APBN," kata Arief Nugraha di Jakarta, Selasa.

Selama ini, ujar Arief, rata-rata kemampuan pemerintah meremajakan karet petani per tahun hanya seluas 5.000 hektar saja. Padahal baru-baru ini Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, pemerintah menargetkan proses peremajaan lahan karet mencapai 50.000 hektar.

Untuk mengatasi keterbatasan anggaran ini, lanjutnya, pemerintah sedang mencoba mencari pendanaan dari sektor lain, seperti berupaya mencoba menjual pohon karet yang akan diremajakan akan dijual untuk mendapatkan dana terkait peremajaan, hal ini sudah dijajaki dengan berdiskusi bersama Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo).

"Selain menjual pohon yang akan diremajakan, pemerintah dapat mempertimbangkan untuk membentuk Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) untuk karet. Saat ini baru komoditas kelapa sawit yang memiliki BPDP. BPDP sendiri punya fungsi meremajakan, mengembangkan sumber daya manusia yang terlibat di dalam industri tanaman karet hingga mengembangkan riset," terang Arief.

Ia berpendapat bahwa selama ini juga telah ada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), yang merupakan unit organisasi noneselon di lingkungan Kementerian Keuangan yang bertugas untuk melaksanakan pengelolaan dana perkebunan kelapa sawit.

Ia juga memaparkan, mekanisme kerja BPDP untuk meremajakan karet adalah melalui penggunaan dana yang dipungut dari para pengusaha.

"Harga acuan yang akan ditetapkan untuk pungutan di komoditas karet diharapkan bisa diformulasikan saat badan ini terbentuk," jelasnya.

Menurut dia, harga karet dunia saat ini sedang mengalami penurunan karena adanya fenomena "oversupply" atau pasokan berlebih dari produksi komoditas tersebut.

 

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Faisal Yunianto
COPYRIGHT © ANTARA 2019